Perkembangan Baitul maal wa tamwil
di Indoneia cukup menggembirakan bila dilihat dari segi kuantitas. Informasi
terakhir menyebutkan telah berdiri sebanyak 3037 BMT di Indonesia, dengan total
asset sebesar Rp. 300 miliar dan dana swadaya masyarakat senilai Rp. 264
miliar. Dan kami optimis jumlah tersebut akan terus bertambah mengingat masih
besarnya peluang BMT untuk menggarap sektor riil di Indonesia. Jumlah lembaga keuangan mikro (LKM)
saat ini diduga tak kurang berjumlah mencapai 9000 LKM. Jumlah BMT di seluruh
Indonesia diperkirakan sebayak 3.307 unit dengan aset sekitar Rp 1, 5 trilyun.
Artinya, hampir separuh dari LKM nasional adalah BMT. Secara individual, BMT
sangat bervariasi. Tidak sedikit BMT yang mengelola aset di atas Rp 10 M dengan
jumlah nasabah di atas 3.000 ribuan orang, meskipun juga banyak BMT yang
asetnya kurang dari Rp 50 juta dan nasabahnya kurang dari 500-an orang.
Baitul maal wa tamwil masih memiliki
peluang yang besar dalam industri keuangan. Data terakhir menurut Badan
Pengelolaan Statistik (BPS) menyebutkan bahwa ada 39.121.350 pengusaha kecil,
55.437 pengusaha menengah, dan 39.176.787 pengusaha UKM, dan 40.137.773 usaha
kecil. Dan tentunya unit usaha kecil tersebut perlu pendanaan dan pembinaan
dari lembaga keuangan. Euforia menjamurnya BMT harus disikapi
secara bijak. Di satu sisi, perkembangan tersebut adalah suatu yang
menggembirakan, namun di sisi yang lain akuntabilitas keuangan BMT-BMT tersebut
patut dipertanyakan. Jika pelaporan keuangan Bank Syari’ah dan BPR Syari’ah
relatif dapat dipertanggungjawabkan karena harus didasarkan pada ketentuan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah
Indonesia (PAPSI) dan selalu dipantau oleh Bank Indonesia, namun tidak demikian
halnya dengan BMT, meskipun jenis kegiatannya hampir sama. Selanjutnya, BMT dikenal sebagai
lembaga keuangan mikro syariah yang paling dekat dengan rakyat kecil. Hal ini
tidak berlebihan mengingat operasional BMT yang menjangkau usaha kecil yang
tidak bisa dijangkau oleh lembaga keuangan lainnya seperti bank syariah atau
BPRS. Dilihat dari faktor tersebut maka penulis optimis bahwa ke depan BMT
masih tetap dibutuhkan bagi pemberdayaan perekonomian negara.
BMT dalam perkembangannya sejauh ini
dipandang belum sepenuhnya mampu menjawab masalah nyata ekonomi yang ada
dikalangan masyarakat. Banyak kendala yang dihadapi BMT diantaranya masih
rendahnya paradigma berpikir serta respon masyarakat terhadap sistem syariah.
BMT masih memiliki keterbatasan kinerja dalam menjangkau para nasabah pengusaha
kecil dan mikro. Sementara keluhan yang paling banyak diajukan oleh responden
adalah plafon maksimal pinjaman masih kecil sera pinjaman yang dicairkan lebih
kecil dari yang diajukan. Keluhan lainnya adalah ratio bagi hasil atau mark up.
Ratio bagi hasil atau mark up yang harus di serahkan ke BMT terlalu besar
bahkan bisa lebih besar dari angsuran pinjaman dan bunganya ke bank. Keluhan
ini setidaknya menunjukan bahwa pemahaman mitra terhadap sistem bagi hasil
tidak sama dengan pemahaman BMT. Meskipun secara konsep BMT,
merupakan instansi yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun dalam aplikasi di
lapangan sering kali kita melihat BMT-BMT yang keluar dari jalur syariah,
umumnya mereka lebih condong ke arah baitul tamwil yang mempunyai orientasi ke
arah profit oriented dari pada ke arah baitul maal yang mempunyai orientasi
pada tujuan sosial dan bersifat nirlaba. Melihat kecenderungan ini perlu ada
pengawasan yang intensif dalam pengeolaannya sehingga citra BMT tidak menjadi
buruk.
Bila kita analisis dari perspektif
kualitas maka masih banyak yang harus diperbaiki di tubuh BMT. Pendanaan yang
kurang baik dari segi jumlah maupun waktu, kredit macet, rendahnya kualitas
sumberdaya manusia yang mengelolanya, produk yang hanya meminjam istilah
syariah, adalah beberapa contoh dari kekurangan BMT selama ini. Akibatnya,
masih banyak masyarakat yang berhubungan dengan rentenir meskipun di wilayahnya
telah ada BMT, usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) masih kesulitan dalam
pendanaan, dan respon masyarakat terhadap keberadaan BMT masih jauh dari yang
diharapkan. Pembinaan BMT tidak dilakukan oleh BI, oleh karenanya diluar
ketentuan PSAK dan PAPSI, disamping karena dianggap sebagai bentuk Koperasi.
Namun demikian, BMT merupakan “anak tiri” dari Departemen Koperasi yang kurang
mendapat perhatian terutama dari aspek akuntabilitasnya. Besarnya ‘ghirah’ dan
dana masyarakat dalam BMT akan berujung kekecewaan manakala akuntabilitas BMT-BMT
tersebut terabaikan.
Baitul maal wa tamwil perlu
merumuskan suatu manajemen strategis untuk bisa mereduksi kekurangan-kekurangan
tesebut. Dalam hal ini kami tidak bermaksud mengatakan bahwa BMT belum
mengimplementasikan suatu manajemen strategis, karena pastinya BMT sebagai
suatu organisasi telah melakukannya meskipun masih bersifat informal, sehingga
mungkin dampaknya kurang signifikan. Dengan manajemen strategis, BMT akan
berusaha menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal organisasi, yang dimaksudkan
untuk mengidentifikasi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) internal
dan dibandingkan dengan peluang (opportunity) dan ancaman (threath) eksternal,
sehingga BMT dapat membuat dan memilih strategi apa yang layak untuk digunakan. Hal mendasar yang harus segera
diselesaikan adalah strategi BMT dalam kaitannya dengan human capital. Masalah
sumberdaya manusia adalah masalah krusial dalam suatu operasionalisasi
organisasi, karena sebagian besar kebangkrutan organsasi disebabkan oleh
rendahnya kualitas pengelolanya. Berbicara tentang pengelolaan sumberdaya
manusia di BMT maka tidak lepas dari kualitas skill dan kualitas spiritual.
Kualitas skill merujuk pada perilaku profesional dari pengelola BMT dalam
mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Berkaitan dengan hal
tesebut maka BMT perlu melakukan program-program yang dapat meningkatkan
profesionalisme pengurus melalui pelatihan kepemimpinan, workshop, ataupun
pembinaan manajerial. Sedangkan kualitas spiritual lebih merujuk pada implementasi
nilai-nilai Islam pada setiap aktivitas pengelola BMT. Dalam hal ini maka peran
ulama’ sangatlah penting untuk mencetak kader-kader yang handal untuk mengelola
BMT.
Dalam kaitannya dengan personel di
tingkat top management adalah penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan
oleh pengaruh pemimpin tersebut yang berdampak pada kinerja pengurus lainnya.
Menurut Robbins (2003:62), dalam lingkungan organisasi yang menuntut perubahan,
maka tipe pemimpin transformasional adalah lebih efisien. Selanjutnya dijelaskan
bahwa pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan
dan rangsangan intelektual yang di-individualkan, dan yang memiliki kharisma.
Pemimpin akan mampu meningkatkan ekspektasi hasil pengurus BMT untuk lebih
mengutamakan kepentingan tim/orgamisasi daripada kepentngan individu tanpa
harus mengurangi kinerja individu. Dengan kharisma yang dimiliki maka pemimpin
akan mampu mengarahkan pengurus agar berperilaku sesuai visi dan misi BMT dalam
operasional sehari-hari.
Selanjutnya, dibutuhkan suatu
strategi inovasi dalam kaitannya dengan produk yang dihasilkan organisasi. Hal
ini disebabkan inovasi memegang peranan penting dalam menjaga kelangsungan
hidup BMT dalam industri lembaga keuangan. BMT dapat menggunakan strategi
penetrasi pasar (market penetration) dimana BMT mencari pangsa pasar yang lebih
besar untuk produk/jasa yang sudah dihasilkan melalui aktivitas pemasaran yang
gencar. Selanjutnya BMT bisa menggunakan pengembangan pasar (market
development) dimana BMT memperkenalkan produk/jasa yang sudah ada ke wilayah
geografi yang baru. Strategi pengembangan produk (product development) juga
dapat diterapkan melalui peningkatan penjualan dengan memperbaiki produk/jasa
yang sudah ada atau mengembangkan produk yang baru. BMT juga dapat mengunakan
strategi diversifkasi konsentiris (concentric diversification) dimana terjadi
penambahan produk/ jasa baru yang masih ada kaitannya dengan produk/jasa utama
BMT. Pada akhirnya dengan inovasi yang handal maka BMT akan mampu membuat
diferensiasi dengan lembaga keuangan mikro lainnya sehingga eksistensinya tetap
terjaga.
Tetapi yang perlu diperhatikan
adalah bahwa dalam inovasi produk, BMT tidak boleh melanggar dari aturan
syariah. Diperlukan kerjasama dengan Dewan pengawas Syariah atau Dewan Syariah
Nasional agar produk yang dihasilkan benar-benar sesuai aturan Islam. Sehingga
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BMT bisa meningkat dan tidak akan ada
opini bahwa BMT hanya mendompleng istilah syariah tanpa tahu esensinya. Salah satu pilar bagi pengembangan
BMT adalah modal yang kuat. Ke depannya, BMT harus membangun link-link yang
kuat dengan para stakeholder. Strategi yang digunakan misalnya dengan menjadi
bagian dari Linkage program antara Bank syariah-BPRS-BMT. Dimana BMT sebagai
perpanjangan tangan dari perbankan syariah yang menyalurkan dana ke Usaha
kecil, mikro dan menengah (UMKM) yang selama ini sulit dijangkau oleh bank
syariah. Dengan Linkage program, maka BMT bisa meningkatkan ketersediaan
dananya.
2.2
Membangun
Ekonomi Syariah menurut Etika Islam
Dalam perkembangan kontemporer ini, dunia Islam sedang melewati
salah satu fase sejarah dunia yaitu masa krisis global. Di tengah krisis global
dengan sistem kontemporer yang bebas nilai dan hampa nilai, dominasi pusaran
faham kapitalis dan sosialis, kita menemukan Islam sebagai suatu sistem yang
mampu memberikan daya tawar positif, dengan menghadirkan nilai-nilai etika dan
moral yang lengkap serta mengajarkan semua dimensi kehidupan. Keunikan pendekatan
Islam terletak pada sistem nilai yang salah satunya mewarnai tingkah laku
ekonomi masyarakat. Dalam Islam diajarkan nilai-nilai dasar ekonomi yang
bersumber pada ajaran tauhid. Islam lebih dari sekedar nilai-nilai dasar etika
ekonomi, seperti: keseimbangan, kesatuan, tanggung jawab dan keadilan, tetapi
juga memuat keseluruhan nilai-nilai yang fundamental serta norma-norma yang
substansial agar dapat diterapkan dalam operasional lembaga ekonomi Islam di
masyarakat.
Umer Chapra menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi Islam
dibangun berdasarkan nilai-nilai etika dan moral serta mengacu pada tujuan
syari’at (maqashid al-syari’ah) yaitu memelihara iman (faith), hidup (life),
nalar (intellect), keturunan (posterity) dan kekayaan (wealth). Konsep ini menjelaskan
bahwa siostem ekonomi hendaknya dibangun berawal dari suatu keyakinan (iman)
dan berakhir dengan kekayaan (property). Pada gilirannya tidak akan muncul
kesenjangan ekonomi atau pedrilaku ekonomi yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’at. Perkembangan ekonomi
syari’ah di Indonesia boleh dikatakan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Hal ini ditandai dengan banyak berdirinya lembaga keuangan yang secara konsep
maupun operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip syari’ah.
Beberapa kalangan membuat penilaian bahwa dari segi
keberadaan dan peranan lembaga Keuangan syari’ah dirasakan belum maksimal,
sedangkan mengukur dari segi sosialisasi sistem ekonomi syari’ah kepada
masyarakat relatif masih terbatas. Padahal sosialisasi ekonomi syari’ah kepada
masyarakat merupakan aspek penunjang dalam strategi pemberdayaan ekonomi
syari’ah di Indonesia. Wawasan
dan pengetahuan tentang ekonomi syari’ah umumnya hanya di kalangan akademisi
dan praktisi lembaga keuangan syari’ah, sedangkan masyarakat bawah belum tentu
mengenal dan memahaminya secara jelas. Padahal ekonomi syari’ah merupakan
sistem ekonomi yang lebih memberikan daya tawar positif, bukan hanya dari aspek
hukum (syari’at), tetapi juga bisa menjadi sistem ekonomi alternatif yang dapat
mendukung proses pembangunan ekonomi di Indonesia. Basis utama sistem ekonomi
syari’ah sesungguhnya terletak pada aspek kerangka dasarnya yang berlandaskan
syari’at, tetapi juga pada aspwek tujuannya yaitu mewujudkan suatu tatanan
ekonomi masyarakat yang sejahtera berdasarkan keadilan, pemerataan dan
keseimbangan. Atas dasar itu, maka pemberdayakan ekonomi syari’ah di Indonesia
hendaknya dilakukan dengan strategi yang ditujukan bagi perbaikan kehidupan dan
ekonomi masyarakat. Tuntutan masyarakat dewasa ini terutama di lapisan masyarakat
bawah adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka yang paling mendasar.
Sistem ekonomi Islam memiliki pijakan yang sangat tegas bila
dibandingkan dengan sistem ekonomi liberal dan sosialis yang saat ini
mendomiinasi sistem perekonomian dunia. Sistem ekonomi liberal lebih
menghendaki suatu bentuk kebebasan yang tidak terbatas bagi individu dalam
memperoleh keuntungan (keadilan distributif), dan sosialisme menekankan aspek
pemerataan ekonomi (keadilan yang merata), menenentang perbedaan kelas sosial dan
menganut azas kolektivitas. Adapun
sistem ekonomi syari’ah mengutamakan aspek hukum dan etika yakni adanya
keharusan menerapkan prinsip-prinsip hukum dan etika bisnis yang Islami, antara
lain: Prinsip ibadah (al-tauhid), persamaan (al-musawat), kebebasan
(al-hurriyat), keadilan (al-‘adl), tolong-menolong (al-ta’awun) dan toleransi
(al-tasamuh). Prinsip-prinsip tersebut merupakan pijakan dasar dalam sistem
ekonomi syari’ah, sedangkan etika bisnis mengatur aspek hukum kepemilikan,
pengelolaan dan pendistribusian harta, yakni menolak monopoli, eksploitasi dan
diskriminasi serta menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Prinsip-prinsip dan etika bisnis itulah yang kini menjadi
landasan operasional lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Dalam
kerangka praktis prinsip-prinsip dan etika bisnis tersebut diimplementasikan
dalam berbagai produk jasa dan layanan lembaga keuangan syari’ah yang
menggunakan mekanisme bagi hasil (profit sharing). Oleh
karena itu, masyarakat akan memperoleh berbagai keuntungan dari jasa dan
layanan lembaga keuangan syari’ah, antara lain: Pertama, adanya jaminan
keuntungan hasil investasi yang jelas, terukur dan rasional; Kedua, adanya
jaminan aspek hukum dan keamanan investasi; Ketiga, transaksi dapat dilakukan
dalam rentang waktu jangka pendek dan jangka panjang; Keempat, terhindar dari
praktek-praktek bisnis yang monopolistik, eksploitatif dan diskriminatif; dan
Kelima, adanya jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang
melakukan transaksi. Keadaan demikian, memungkinkan bagi lembaga keuangan
syari’ah terhindar dari praktek bunga yang jelas mengandung suatu kesamaran
(gharar) dan melipatgandaan keuntungan (riba). Oleh karena itu, tidak ada
alasan lagi untuk meragukan lembaga kuangan syari’ah baik dari segi hukum,
etika, kejelasan untung dan rugi serta ketahanan institusi dari keadaan pailit.
Kelebihan utama praktek bagi hasil tidak didasarkan kepada
ketentuan yang kaku, tetapi bersifat kondisional dalam membagi keuntungan
antara pihak yang melakukan transaksi. Kedua belah pihak dapat saling berbagi
keuntungan dan kerugian berdasarkan pertimbangan kelayakan dan rasionalitas. Atas dasar itu, maka
tidak tepat pula jika mengatakan ekonomi syari’ah tidak memberikan solusi bagi
perbaikan ekonomi masyarakat di Indonesia. Karena dalam faktanya keberadaan
lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang baru berkembang sejak tahun 1992 cukup
kokoh bertahan. Tingkat ketahanan lembaga keuangan syari’ah dari terpaan badai
krisis ekonomi dan moneter jauh lebih kuat diabndingkan lembaga keuangan
konvensional. Sebab prinsip utama yang digunakan tidak bergantung kepada
patokan suku bunga yang cenderung berubah, tetapi didasarkan kepada fluktuasi
keuntungan hasil usaha yang diperoleh.
2.3
Dasar-Dasar
Etika Ekonomi Islam
Fenomena menarik di kalangan umat Islam saat ini adalah terdapat
realitas bahwa masyarakat muslim relatif tertinggal secara ekonomi dari pada
masyarakat non muslim. Sehingga melahirkan stigma berfikir yang kolektif dan
cita-cita untuk membangun tatanan ekonomi yang berdasarkan etika ekonomi Islam. Perumusan etika ekonomi
Islam dalam setiap kegiatan bisnis diperlukan untuk memandu segala tingkah laku
ekonomi di kalangan masyarakt muslim. Etika bisnis Islami tersebut selanjunya
dijadikan sebagai kerangka praktis yang secara fungsional akan membentuk suatu
kesadaran ber-agama dalam melakukan setiap kegiatan ekonomi (religiousness
economyc practical guidance). Etika
ekonomi Islam, sebagaimana dirumuskan oleh para ahli ekonomi Islam adalah suatu
ilmu yang mempelajari aspek-aspek kemaslahatan dan kemafsadatan dalam kegiatan
ekonomi dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauhmana dapat diketahui
menurut akal fikiran (rasio) dan bimbingan wahyu (nash). Etika ekonomi
dipandang sama dengan akhlak, karena keduanya sama-sama membahas tentang
kebaikan dan keburukan pada tingkah laku manusia.
Sedangkan tujuan etika Islam menurut kerangka berfikir
filsafat adalah memperoleh suatu kesamaan ide bagi seluruh manusia di setiap
waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku baik dan buruk sejauhmana dapat
dicapai dan diketahui menurut akal fikiran manusia. Namun demikian, untuk
mencapai tujuan tersebut, etika ekonomi Islam mengalami kesulitan karena
pandangan masing-masing golongan di dunia ini berbeda-beda perihal standar
normatif baik dan buruk. Masing-masing mempunyai ukuran dan kriteria yang
berbeda-beda pula. sebagai cabang dari filsafat, ajaran etika bertitik tolak
dari akal fikiran dan tidak dari ajaran agama.
Adapun dalam Islam, ilmu akhlak dapat difahami sebagai
pengetahuan yang mengajarkan tentang kebaikan dan keburukan berdasarkan ajaran
Islam yang bersumber kepada akal dan wahyu. Atas dasar itu, maka etika ekonomi
yang dikehendaki dalam islam adalah perilaku sosial-ekonomi yang harus sesuai
dengan ketentuan wahyu serta fitrah dan akal pikiran manusia yang lurus. Di antara nilai-nilai
etika ekonomi islam yang terang-kum dalam ajaran filsafat ekonomi Islam adalah
terdapat dua prinsip pokok: Pertama, Tauhid. Prinsip tauhid ini mengajar-kan
manusia tentang bagaimana mengakui keesaan Allah. Sehingga terdapat suatu
konsekwensi bahwa keyakinan ter-hadap segala sesuatu hendaknya berawal dan berakhir
hanya kepada Allah SWT. Keyakinan yang
demikian, dapat mengantar seorang muslim untuk menyatakan bahwa: “Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi Allah, Tuhan
seru sekalian alam”. Prinsip ini kemudian menghasilkan kesatuan-kesatuan
sinergis dan saling terkait dalam kerangka tauhid. Tauhid diumpmakan seperti
ber-edarnya planet-planet dalam tata surya yang mengelilingi matahari.
Kesatuan-kesatuan dalam ajaran tauhid hendaknya berimplikasi kepada kesatuan
manusia dengan tuhan dan kesatuan manusia dengan manusia serta kesatuan manusia
dengan alam sekitarnya.
Kedua, prinsip keseimbangan mengajarkan manusia tentang
bagaimana meyakini segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam keadaan seimbang
dan serasi. Hal ini dapat difahami dari al-Qur’an yang telah menjelaskan bahwa:
“Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha
Pengasih. Ulang-ulanglah meng-amati apakah engkau melihat sedikit ketimpangan”.
Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang, serasi dan selaras
dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntun manusia untuk mengimplementasikan
ketiga aspek tersebut dalam kehidupan.
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi
untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggamannya adalah milik
Alah SWT. keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil
usahanya sendiri tetapi terdapat partsisipasi orang lain. Tauhid yang akan
menghasilkan keyakinan pada manusia bagi kesatuan dunia dan akhirat. Tauhid
dapat pula mengantarkan seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan
materi semata-mata, tetapi juga mendapat keberkahan dan keuntungan yang lebih
kekal. Oleh karena itu, seorang pengusaha dipandu
untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini
dapat dimengerti mengapa Islam melarang segala praktek riba dan pencurian,
tetapi juga penipuan yang terselubung. Bahkan Islam melarang kegiatan bisnis
hingga pada menawarkan barang pada disaat konsumen menerima tawaran yang sama
dari orang lain.
Demikian halnya dengan prinsip keseimbangan akan mengarahkan
umat Islam kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan
ekonomi hanya pada satu tangan atau satu kelompok tertentu saja. Atas dasar ini
pula, al-Qur’an menolak dengan sangat tegas daur sempit yang menjadikan
kekayataan hanya berkisar pada orang atau kelompok tertentu :“Supaya harta itu
tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja dia antra kamu”. Umat
Islam dilarang tegas melakukan penimbunan dan pemborosan. Ayat ini menjadi
dasar bagi pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak-hak miliki
perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penye-lundupan dan yang
mengambil keuntungan secar berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan
harga yang tidak semestinya, “Makan dan minumlah, tetapi jangan
berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan”. Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menim-bulkan kelangkaan
barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbnagan yang diakibatkan
kenaikan harga-harga. Dalam rangka memelihara keseimbangan ekonomi, Islam
menegaskan pemerintah untuk mengontrol harga-harga yang tidak wajar dan
cenderung spekulatif tersebut, yakni dengan berpegang kepada etika ekonomi
Islami.
2.4
Etika
Islami dalam Praktek Bisnis
Dari prinsip di atas, maka seorang pelaku bisnis atau
wirausaha menurut pandangan Etika Islam ketika berdagang tidak hanya bertujuan
mencari keutungan sebesar-besarnya, akan tetapi mencari dan mencapai
keberkahan. Keberkahan usaha adalah kemantapan dari usaha itu dengan
memper-oleh keuntungan yang wajar dan diridhai oleh Allah SWT. Untuk memperoleh
keberkahan dalam jual beli, Islam mengajarkan prinsip-prinsip etis sebagai
berikut :
1. Jujur dalam takaran dan timbangan, Allah berfirman QS
al-Muthafifin 1-2: “Celakalah bagi orang yang curang. Apabila mereka menimbang
dari orang lain (untuk dirinya, dipenuhkan timbangannya). namun, apabila mereka
menimbang (untuk orang lain) dikuranginya”.
2. menjual barang yang halal. Dalam salah satu hadits nabi
menyatakan bahwa Allah mengharamkan sesuatu barang, maka haram pula harganya
(diperjualbelikan).
3. Menjual barang yang baik mutunya. Dalam berbagai hadits
Rasulullah melarang menjual buah-buahan hingga jelas baiknya.
4. Jangan menyembunyikan cacat barang. Salah satu sumber hilangnya
keberkahan jual beli, jika seseorang menjual barang yang cacat yang
disembunyikan cacatnya. Ibnu Umar menurut riwayat Bukhari, memberitakan bahwa
seorang lelaki menceritakan kepada Nabi bahwa ia tertipu dalam jual beli. Sabda
Nabi ; “ apabila engkau berjual beli, katakanlah : tidak ada tipuan”.
5. Jangan main sumpah. Ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan
pembelinya dengan jalan main sumpah agar dagangannya laris. Dalam hal ini Rasul
memperingatkan : “sumpah itu melariskan dagangan, tetapi menghapuskan
keberkahan”. (HR Bukhari).
6. Longgar dan bermurah
hati. Sabda Rasulallah: “Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu
menjual, waktu membeli dan waktu menagih hutang”. (H.R. Bukhari). Kemudian
dalam hadits lain Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah bersabda: “ada
seorang pedagang yang mempiutangi orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang
ditagih itu dalam dalam kesem-pitan, dia perintahkan kepada
pembantu-pembantunya.” Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah
memberikan kelapangan kepada kita”. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya
“ (H.R. Bukhari).
7. Jangan menyaingi kawan. Rasulullah telah bersabda: “janganlah
kamu menjual dengan menyaingi dagangan saudaranya”.
8. Mencatat hutang piutang. Dalam dunia bisnis lazim terjadi
pinjam-meminjam. Dalam hubungan ini al-Qur’an mengajarkan pencatatan hutang
piutang. Gunanya adalah untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu
waktu lupa atau khilap : “hai orang-orang yang beriman, kalau kalian
berhutang-piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian
tuliskan. Dan seorang penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan
jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana telah diajarkan
oleh Allah kepadanya”.
9. Larangan riba sebagaimana Allah telah berfirman: “Allah
menghapuskan riba dan menyempurnakan kebaikan shadaqah. Dan Allah tidak suka
kepada orang yang tetap membangkang dalam bergelimang dosa”.
10. Anjuran berzakat, yakni menghitung dan mengeluarkan zakat barang
dagangan setiap tahun sebanyak 2,5 % sebagai salah satu cara untuk membersihkan
harta yang diperoleh dari hasil usaha.
Berkenaan dengan hal itu, Islam sebagai ajaran yang universal
memberikan pedoman tentang kegiatan ekonomi berupa prinsip-prinsip dan
asas-asas muamalah. Juhaya S. Praja menyebutkan terdapat beberapa prinsip hukum
eko-nomi Islam, antara lain:
1. Prinsip la yakun dawlatan bayn al-agniya, yakni prinsip hokum
ekonomi yang menghendaki pemerataan dalam pendistribusian harta kekayaan.
2. Prinsip antaradin, yakni pemindahan hak kepemilikan atas harta
yang dilakukan secara sukarela.
3. Prinsip tabadul al-manafi’, yakni pemindahan hak atas harta yang
didasarkan kepasa azas manfaat.
4. Prinsip takaful al-ijtima’, yakni pemindahan hak atas harta yang
didasarkan kepada kepentingan solidaritas sosial.
5. Prinsip
haq al-lah wa hal al-adami, yakni hak pengelolaan harta kekayaan yang
didasarkan kepada kepentingan milik bersama, di mana individu maupun kelompok
dapat saling berbagi keuntungan serta diatur dalam suatu mekanisme
ketatanegaraan di bidang kebijakan ekonomi.
Di samping prinsip-prinsip tersebut, dalam sistem ekonomi Islam
dijelaskan pula berbagai ketentuan yang terangkum dalam azas-azas muamalah.
Ahmad Azhar Basyir telah menjelaskan tentang azas-azas muamalah dalam hukum ekonomi
Islam, antara lain:
1. Asas kehormatan manusia (QS 17: 70).
2. Asas kekeluargaan dan kemanusiaan (QS 49: 13).
3. Asas gotong-royong dalam kebaikan (QS 5: 2).
4. Asas keadilan, kelayakan dan kebaikan (QS 16: 90).
5. Asas menarik manfaat dan menghindari madharat (QS 2: 282).
6. Asas kebebasan dan kehendak (QS 2: 30).
7. Asas kesukarelaan (QS 4: 39)
Berdasarkan prinsip-prinsip dan azas-azas ekonomi itulah,
maka pelaksanaan hukum Islam dalam kegiatan eko-nomi diwujudkan dalam bentuk
lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Disadari atau tidak, kepentingan untuk
mengem-bangkan lembaga keuangan dan perbankan syari’ah bukan lagi merupakan
tuntutan di kalangan umat Islam, tetapi telah menjadi kebutuhan umum.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demikianlah penjelasan singkat tentang ekonomi syari’ah
yang mendasarkan sistem ekonominya kepada tujuan syari’ah (maqashid syari’ah)
dan prinsip-prinsip etika yang diajarkan Islam untuk diterapkan dalam praktek
bisnis dan kewirausahaan yang memiliki dimensi Keberkahan yaitu memperoleh
keuntungan baik di dunia maupun di akhirat. Etika merupakan suatu
pedoman moral bagi semua tindakan manusia dan menjadi sumber pemikiran baik
buruk tindakan itu. Agama merupakan kepercayaan akan sesuatu kekuatan
supranatural yang mengatur dan mengendalikan kehidupan manusia. Etika Islam
mengatur segala aspek termasuk ekonomi bahwa mesti ada kesepadanan untuk
membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Praktik ekonomi, bisnis, wirausaha dan lainnya yang
bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, diperintahkan
dan dipandu baik oleh aturan-aturan ekonomi yang bersifat rasional maupun
dituntun oleh nilai-nilai agama.
DAFTAR
PUSTAKA
A.Karim, Adiwarman. 2010.
Bank Islam. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
judul : STRATEGI PEMBERDAYAAN BMT DAN ALTERNATIF
MEMBANGUN EKONOMI SYARIAH MENURUT ETIKA ISLAM
judul : STRATEGI PEMBERDAYAAN BMT DAN ALTERNATIF
MEMBANGUN EKONOMI SYARIAH MENURUT ETIKA ISLAM
judul : STRATEGI PEMBERDAYAAN BMT DAN ALTERNATIF
MEMBANGUN EKONOMI SYARIAH MENURUT ETIKA ISLAM
No comments:
Post a Comment