2.1 Pengertian
Manajemen Likuiditas
Dalam
terminologi keuangan dan perbankan terdapat banyak pengertian mengenai
likuiditas, beberapa diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut :
“Likuiditas adalah
kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya deposito/ simpanan oleh
deposan/ penitip”. Dengan kata lain, menurut definisi ini, suatu bank dikatakan
likuid apabila dapat memenuhi kewajiban penarikan uang dari pada penitip dana
maupun dari para peminjam/debitur. “Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi
kewajiban hutang- hutanya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat
memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi
penangguhan.” Dalam terminologi yang hampir sama, dapat disebutkan bahwa
“likuiditas adalah kemampuan bank untuk menyediakan saldo kas dan saldo harta
likuid yang lain untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, khususnya untuk :
o Menutup
jumlah reserves required
o Membayar
chek, giro berbunga, tabungan dan deposito berjangka milik nasabah yang
diuangkan kembali
o Menyediakan
dana kredit yang diminta calon debitur sehat, sebagai bukti bahwa mereka tidak
menyimpang dari kegiatan utama bank yaitu pemberian kredit
o Menutup
berbagai macam kewajiban segera lainnya
o Menutup
kebutuhan biaya operasional perusahaan
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di
atas dapat disimpulkan secara singkat bahwa likuiditas adalah kemampuan suatu
bank atau suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya.
Sedangkan pengertian manajemen likuiditas menurut
beberapa pakar perbankan adalah sebagai berikut :
·
Duane B Graddy : ” Manajemen likuiditas
melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan
untuk memenuhi semua kebutuhan”
·
Oliver G Wood: ”Manajemen likuiditas melibatkan
perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas secara terus menerus baik kebutuhan
jangka pendek atau musiman atau kebutuhan jangka panjang”
2.2 Instrumen Likuiditas
Bank Syari’ah.
Untuk
mengatasi masalah likuiditas dalam dunia perbankan, baik itu bersifat kelebihan
likuiditas ataupun kekurangan likuiditas, maka banyak sekali cara yang bisa
digunakan. Ketika terjadi kelebihan likuiditas, pemerintah bisa mengatasinya
dengan cara menerbitkan surat berharga islami, baik itu seperti sukuk dan
lainnya. Selain itu juga, untuk mengatasi masalah likuiditas antar bank, maka
BI dan Perhimpunan Bank Umum Nasional (PERBENAS) bekerja sama membentuk pooling
fund, yang berfungsi sebagai wadah untuk penyimpanan dana bagi bank yang
kelebihan likuiditas serta tempat untuk meminjam dana bagi bank yang mengalami
kesulitan likuiditas. Kunci yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid
adalah:
1)
Memiliki Primary Reserve
Dalam dunia perbankan,
primary reserve terdiri dari :
a) Giro pada
Bank Sentral
Selama ini Giro pada
bank sentral dikenal dengan istilah Giro Wajib Minimum (GWM), yakni merupakan
kewajiban setiap bank untuk menitipkan dananya di BI. Berdasarkan ketentuan
yang telah ditetapkan BI, maka besarnya GWM minimal 5% dari total dana pihak
ketiga (DPK) untuk valuta rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga untuk valuta
asing, dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama, bagi Bank Umum Syariah yang
memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat
tambahan GWM sebagai berikut:
o Yang
memiliki DPK > Rp 1 triliun s/d Rp 10 triliun wajim memelihara GWM tambahan
dalam rupiah sebesar 1% dari DPK dalam rupiah.
o Yang
memiliki DPK > Rp 10 triliun s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan
dalam rupiah sebesar 2% dari DPK dalam rupiah.
o
Yang memiliki DPK > Rp 50 triliun wajib
memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 3% dari DPK dalam rupiah.
Sedangkan bagi yang
memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih; dan
/atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 triliun tidak dikenakan
tambahan GWM .
b) Kas pada Vault
Alat likuid ini berisi
uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan transaksi
sehari-hari.
c) Giro pada
Bank lain
Rekening giro pada bank
lain bertujuan untuk melancarkan transaksi antar bank (transfer, inkaso,
transaks L/C, dan lain-lain)
d) Item-Item Uang Tunai yang Masih dalam Proses Inkaso
Alat likuid ini terdiri
dari cek bank sentral atau bank koresponden yang belum secara efektif
dikreditkan pada rekening bank pada bank sentral atau bank koresponden. Tujuan dari alat likuid yang termasuk ke dalam
kategori primary reserve (cadangan primer) adalah:
o Memenuhi
reserve requirement yang ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank
Indonesia.
o Memenuhi
keperluan operasional bank sehari-hari.
o Penyelesaian
kliring antar bank
o Memenuhi
kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo.
2)
Memiliki Secondary Reserve
Secondary Reserve
merupakan cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve, ditanam
dalam bentuk investasi jangka pendek dan tetap current. Baik dalam kondisi
normal apalagi kondisi krisis atau pasar sedang ketat, kebutuhan likuiditas sulit untuk diantisipasi dan dipenuhi
segera terutama jika terjadi rush, sehubungan dengan hal tersbut Cadangan
Sekunder yang ditempatkan dalam bentuk surat-surat berharga (Marketable
Securities) dilakukan dalam rangka memaksimalisasi penempatan dana setiap saat
dan harus menghasilkan. Oleh karena itu, Marketable Securities tersebut harus
memenuhi kriteria Short Term, High Quality, Marketable.
Kalau merujuk pada
bank-bank Islam yang berada di Bahrain ataupun di kawasan timur tengah, maka
kita akan melihat bahwa secondary reserve yang mereka gunakan adalah berupa
pembiayaan perdagangan seperti mudharaba dan sukuk. Dan kebanyakan menggunakan
jenjang waktu yang pendek (short term), berkisar antara 7 hari sampai dengan 12
bulan. Adapun cadangan sekunder berupa surat-surat
berharga bisa berupa:
a. Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
Peraturan Bank
Indonesia no 2/9/PBI/2000 mengatur tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank
Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah. Adapun ketentuan SWBI sebagai berikut :
o Jumlah dana
yang dititipkan sekurang-kurangnya Rp 500.000.000,- dan selebihnya dengan
kelipatan Rp 50.000.000,-. Jangka waktu SWBI satu minggu, dua minggu, dan satu
bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari.
o Imbalan
yang diterima pada saat jatuh tempo adalah berupa bonus. Besarnya bonus akan
dihitung dengan menggunakan acuan tingkat indikasi imbalan PUAS, yaitu
rata-rata tertimbang dari tingkat indikasi imbalan sertifikat IMA yang terjadi
di PUAS pada tanggal penitipan.
Peran SWBI dalam memenuhi kebutuhan jangka pendek bagi Bank Syariah atau
Unit Usaha Syariah yang memilikinya adalah bisa digunakan pada saat terjadi
kekurangan likuiditas ketika tidak tersedianya dana dari Pasar Uang ataupun
dari Bank Pusat untuk Unit Usaha Syariah. Sebagai the lender of last resort,
Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan dalam bentuk Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek bagi Bank Syariah dan SWBI tersebut dapat dijadikan agunan bagi
fasilitas pembiayaan tersebut.
b. Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN)
Berdasarkan
Undang-Undang SBSN yang diterbitkan pada Mei 2008, Surat Berharga Syariah
Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang asing. Dalam rangka penerbitan SBSN, pemerintah dapat
mendirikan perusahaan penerbit SBSN yang biasa disebut dengan Special Purpose
Vehicles (SPV) yang berwenang diantaranya untuk menerbitkan SBSN, menjadi agen
dalam pelaksanaan transaksi SBSN seperti pembayaran baik imbalan maupun nilai
nominal SBSN kepada investor, dan menjadi counterpart Pemerintah dalam
transaksi pengalihan aset. Pemerintah dalam hal ini bertanggung jawab atas
pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan sampai dengan sukuk
jatuh tempo.
Sedangkan Jenis-jenis sukuk yang banyak beredar di pasaran meliputi :
Sedangkan Jenis-jenis sukuk yang banyak beredar di pasaran meliputi :
o Sukuk
ijarah yakni sukuk yang berdasarkan akad ijarah dimana satu pihak bertindak
sendiri atau dapat diwakili dalam menjual atau menyewakan hak manfaat atas
suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
o Sukuk
mudharabah, yakni sukuk yang berdasarkan akad mudharabah dimana satu pihak
menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dan keuntungan
dari kerjasama tersebut akan dibagikan berdasarkan perjanjian yang telah
disepakati sebelumnya.
o Sukuk
musyarakah, yakni sukuk berdasarkan akah musyarakah dimana dua pihak atau lebih
bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan
proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun
kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal
masing-masing pihak.
o Sukuk
istisna’, yakni sukuk berdasarkan akad istisna’ dimana pihak menyepakati jual
beli dalam pembiayaan suatu proyek atau barang. Adapun harga, waktu penyerahan,
dan spesifikasi barang atau proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan
kesepakatan.
3)
Mempunyai akses ke pasar uang
Pasar uang yang
dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar modal
syariah.
a) Pasar Uang
Antar Bank Syariah (PUAS)
Pasar Uang Antar Bank
Syariah merupakan pasar bagi instrument keuangan jangka pendek (kurang dari 1
tahun). Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi
keuangan jangka pendek antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah
maupun valuta asing.
Untuk saat ini, instrument keuangan untuk Pasar Uang Syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni berupa: Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA) . Berlakunya instrument keuangan syariah IMA ini berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia no 9/8/DPM tertanggal 30 Maret 2007. Tujuan diberlakukannya Sertifikat IMA ini adalah untuk sarana investasi bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah, terutama untuk mengatur kebutuhan likuiditasnya.
Untuk saat ini, instrument keuangan untuk Pasar Uang Syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni berupa: Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA) . Berlakunya instrument keuangan syariah IMA ini berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia no 9/8/DPM tertanggal 30 Maret 2007. Tujuan diberlakukannya Sertifikat IMA ini adalah untuk sarana investasi bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah, terutama untuk mengatur kebutuhan likuiditasnya.
Sertifikat Investasi
Mudharabah Antar Bank (sertifikat IMA) didefinikan sebagai sertifikat yang
diterbitkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang digunakan
sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah.
Mudharabah, sesuai definisi pada Surat Edaran tersebut, adalah penanaman dana
dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk
melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi
untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue
sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakat sebelumnya. Adapun karakteristik Sertifikat IMA :
o Diterbitkan
dengan akad mudharabah
o Dapat
diterbitkan baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing
o Dapat
diterbitkan dengan atau tanpa warkat.
o Mencantumkan
informasi sedikitnya : nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu
investasi, indikasi tingkat imbalan Sertifikat IMA sebelum didistribusikan pada
bulan terakhir.
o Berjangka
waktu 1 hari sampai dengan 365 hari
o Dapat
diperdagangkan sebelum jatuh tempo.
b) Pasar Modal
Syariah
Instrument di pasar
modal syariah saat ini meliputi saham yang masuk kategori Jakarta Islamic
Index, Sukuk, dan reksadana syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan
berinvestasi pada saham, maka sukuk dan reksadana syariahlah menjadi secondary
reserve dimana instrument ini dapat dijual di secondary market untuk sukuk dan
dicairkan untuk reksadana syariah jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah
membutuhkan dana jangka pendek. Namun jika dibandingkan dengan instrument
keuangan pada Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS), maka instrument pada Pasar
Modal Syariah ini kurang likuid. Untuk itu kriteria high quality dan marketable
menjadi penting bagi pemilihan sukuk dan reksadana syariah.
c)
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank
Syariah (FPJPS)
FPJPS merupakan
instrument terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank Syariah atau
Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan tidak berhasilnya
akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka pendek. Bagi Unit Usaha
Syariah, selain mencari pendanaan dari Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS),
Unit Usaha Syariah juga harus mengusahakan dana dari Kantor Pusat Bank
Konvensional. Jika masih belum dapat memenuhi kewajiban jangka pendek tersebut,
maka Bank Indonesia dapat memberikan pendanaan yang bersifat syariah untuk membantu
likuiditas Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah tersebut. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek ini, yang
disebut dengan FPJPS, diberikan hanya kepada Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun masih memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan. Penilaian kesehatan Bank pada
faktor likuiditas menggunakan rasio besarnya aset jangka pendek terhadap
kewajiban jangka pendek yang merupakan rasio utama. Semakin kecil rasio utama
ini, maka tingkat likuiditas bank juga semakin rendah karena kurangnya
kemampuan asset jangka pendek untuk mendanai kewajiban jangka pendek. Selain
factor likuiditas, factor permodalan juga merupakan factor dalam penilaian
tingkat kesehatan bank. Rasio utama dalam factor permodalan adalah kecukupan
pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang sebesar 8% dari Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yaitu risiko penyaluran dana, dan risiko nilai
tukar yang masuk kategori risiko pasar.
2.3 LPS Sebagai
Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan
Setiap
Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi
peserta Penjaminan LPS. Jenis Bank tersebut meliputi bank umum dan BPR,
termasuk bank nasional, bank campuran dan bank asing, serta bank konvensional
dan bank Syariah. LPS adalah
badan hukum yang independent yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang ditetapkan tanggal
22 September 2004. Pendirian dan operasional LPS dimulai sejak UU LPS berlaku
efektif yakni tanggal 22 September 2005. LPS menjamin simpanan nasabah bank
yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu. LPS juga menjamin simpanan di bank Syariah yang
berbentuk giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah.
2.4
Faktor
Eksternal Likuiditas
Perbankan Syari’ah
Faktor eksternal adalah
berbagai hal yang terjadi di luar bank yang dapat mempengaruhi fund inflow.
Secara specific para deposan bank syariah memiliki pola prilaku menabung
sebagai berikut :
a) Menyimpan dalam instrumen tabungan
jangka pendek sehingga bisa dicairkan kapan saja baik dengan penalti atau tanpa
pinalti.
b) Untuk kepentingan jangka pendek dan
lebih mengutamakan keuntungan. Dalam kondisi ekonomi dimana suku bunga naik dan
pasar uang yang volatile, mereka akan pindah ke bank konvensional atau pasar
uang konvensional.
c) Oleh karenanya banyak penabung di bank
syariah juga tetap memelihara rekening tabungan di bank konvensional.
1) Kondisi Ekonomi dan moneter
Sebagai
bagian dari sistem perekonomian, kondisi perekonomian secara umum sangat
mempengaruhi kondisi likuiditas
perbankan syariah. Pada saat tingkat inflasi tinggi yang ditandai dengan
tingginya demand, otoritas moneter akan
mengambil kebijakan kontraksi moneter dengan memainkan instrumen moneter
seperti menaikkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Akibatnya Bank
konvensional juga akan menaikkan tingkat suku bunganya sehingga deposan yang
memiliki mind-set rational akan menarik dananya dari Bank syariah dan
memindahkannya ke Bank Konvensional. Bank konvensional lebih memiliki
flexibilitas dalam menyesuaikan returnnya (suku bunganya) dibandingkan dengan
bank syariah. Tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan didalam menarik dana
masyarakat tidak hanya datang dari bank sejenis (syariah) tetapi juga datang
dari bank konvensional, terutama persaingan didalam memperebutkan segmen
deposan rasional.
2) Persaingan antar Lembaga Keuangan
Persaingan
antar lembaga keuangan juga mempengaruhi likuiditas bank syariah. Pada saat
Bank syariah memberikan return yang rendah, para pemilik dana terutama pemilik
dana rasional akan mencari alternatif lain untuk mengoptimumkan return mereka.
Berbagai lembaga keuangan seperti Bank konvensional, Lembaga keuangan Bukan
Bank dan Pasar uang dan modal merupakan pesaing yang harus diperhitungkan di
dalam memperebutkan dana masyarakat.
2.5
Faktor
Internal Likuiditas Perbankan Syari’ah
1) Manajemen Risiko Likuiditas
Risiko
adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan
kerugian. Manajemen
risiko adalah serangkaian prosedur dan teknologi yang digunakan untuk
mendidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari
kegiatan usaha bank. Risiko
likuiditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya
kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek dan
aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko likuiditas
ditentukan antara lain :
a) Kecermatan dalam perencanaan arus kas
atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan pertumbuhan dana termasuk
mencermati tingkat fluktuasi dana.
b) Ketepatan dalam mengatur struktur dana
termasuk kecukupan dana-dana non Profit Loss Sharing (PLS)
c) Kemampuan menciptakan akses ke pasar
antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk fsilitas lender of last resort.
Apabila
kesenjangan tersebut cukup besar maka
akan menurunkan kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh
tempo. Oleh karena itu untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, maka
diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan likuiditas bank juga
merupakan bagian dari pengelolaan liabilitas. Dalam mengantisipasi
terjadinya Risiko likuiditas, aktivitas manajemen risiko yang umumnya ditetapkan oleh bank antara lain adalah :
a) Melaksanakan monitoring secara harian
atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan
melalui kliring maupun penarikan tunai.
b) Melaksanakan monitoring secara harian
atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai
nasabah.
c) Membuat analisa penarikan dana bersih
terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih
rata-rata saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan
likuiditas Bank
d) Selanjutnya bank menetapkan secondary
reserve untuk menjaga posisi likuiditas bank, antara lain menempatkan kelebihan
dana dalam instrumen keuangan yang likuid.
e) Menetapkan kebijakan Cash holding Limit
pada kantor-kantor cabang Bank.
f) Melaksanakan fungsi ALCO (Asset-Liability committee) untuk mengatur
tingkat return dan likuiditas bank.
g) Mengatur struktur portofolio dana.
h) Mengadakan perjanjian credit line dengan
lembaga keuangan lain.
2) Pengelolaan likuiditas
Tujuan manajemen
likuiditas adalah untuk :
a)
Menjalankan transaksi bisnisnya
sehari-hari
b)
Memenuhi kebutuhan dana
mendesak
c)
Memuaskan permintaan
nasabah akan pembiayaan
d)
Memberikan fleksibilitas
dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.
e)
Menjaga posisi likuiditas
bank agar mampu memenuhi ratio yang ditentukan bank sentral,
f)
Meminimalkan idle fund
Ciri-ciri bank yang memiliki likuiditas sehat adalah :
a)
Memiliki sejumlah alat likuid , cash asset (uang kas, rekening
pada bank sentral dan bank lainnya) setara dengan kebutuhan likuiditas yang
diperkirakan,
b)
Memiliki likuiditas kurang
dari kebutuhan, tetapi memiliki surat-surat berharga yang segera dapat
dialihkan menjadi kas, tanpa harus mengalami kerugian baik sebelum atau sesudah
jatuh tempo,
c)
Memiliki kemampuan untuk
memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang, misalnya dengan menjual
surat berharga dengan repurchase agreement.
d)
Memenuhi ratio pengukuran
likuiditas yang sehat yaitu :
· Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga
Merupakan ukuran untuk menilai kemampuan bank dalam
memenuhi kebutuhan likuiditas akibat penarikan dana oleh pihak ketiga dengan
menggunakan alat likuid bank yang tersedia. Alat likuid bank terdiri
atas uang kas, saldo giro pada bank sentral dan bank koresponden. Semakin besar rasio ini
semakin besar kemampuan bank memenuhi kewajiban jangka pendeknya, tetapi disisi
lain mengidentifikasikan semakin besarnya idle money.
· Ratio pembiayaan terhadap total dana pihak ketiga (FDR),
Finance to deposit ratio (FDR), yang menggambarkan
perbandingan pembiayaan yang disalurkan dengan jumlah DPK yang disalurkan. Ratio ini harus dipelihara
pada posisi tertentu yaitu 75-100%. Jika ratio di bawah 75% maka bank dalam
kondisi kelebihan likuididitas, dan jika ratio diatas 100% maka bank dalam
kondisi kurang likuid. Menurut kriteria Bank
Indonesia, ratio sebesar 115% keatas nilai kesehatan likuiditas bank adalah
nol.
3) Perencanaan Likuiditas
Melakukan analisis
perencanaan likuiditas yaitu mengidentifikasi kebutuhan utama terhadap
likuiditas kemudian membandingkan kebutuhan tersebut dengan jumlah aktiva
lancar yang dimiliki bank pada saat itu. Analisis ini dilakukan dengan 3 tahap
sbb:
a) Tahap pertama
Klasifikasikan
sumber-sumber dana utama bank berdasarkan tingkat kecepatan berputarnya.
Kelompokkan dana yang sifatnya stabil atau tetap dan dana yang berfluktuasi.
Estimasikan persentase pada masing-masing kelompok pada dana tersebut dilihat
dari waktu penarikannya, maka terdapat dua jenis dana yaitu dana yang dapat
ditarik sewaktu-waktu meliputi tabungan dan giro wadiah serta dana yang ditarik
pada saat jatuh tempo meliputi investasi mudharabah. Untuk memperkirakan jumlah
penarikan pada tabungan dan giro wadiah, bank syariah harus menganalisis dari
pengalaman penarikan dana harian pada masa-masa sebelumnya (historical data).
b) Tahap kedua
Kelompokkan jenis aktiva
yang likuid maupun yang tidak likuid. Pengelompokkan
ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan
likuiditasnya dari aktiva lancar yang dimilikinya.
c) Tahap ketiga
Bandingkan total aktiva
lancar dengan dana yang dianggap berubah-ubah (volitile). Apabila perbandingan
tersebut hasilnya sama dengan satu berarti posisi kebutuhan likuiditas persis sama dengan jumlah aktiva
lancar yang dimiliki bank saat itu (Balance liquidity position).
d) Tahap ke empat
Tententukan
kebutuhan likuiditas bank yang biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut
ini :
·
Kewajiban
reserve yang ditetapkan oleh Bank Sentral, yaitu merupakan Giro Wajib Minimum
(GWM) yang merupakan ketentuan Bank Indonesia. Giro Wajib Minimum merupakan
kewajiban cadangan (reserve requirement) yang ditetapkan oleh oleh Bank
Indonesia sebesar prosentase dari dana pihak ketiga (DPK). Dana Pihak ketiga meliputi seluruh DPK
dalam rupiah maupun valuta asing pada seluruh kantor bank yang bersangkutan di
Indonesia.
·
Kebutuhan
dana operasional.
·
Rencana
penyaluran pembiayaan termasuk komitment bank kepada nasabah atau fihak lain
untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan investasi. Bisnis di
perbankan merupakan bisnis kepercayaan, oleh karenanya pemenuhan komitmen harus
menjadi fokus Bank syariah.
·
Estimasi
penarikan dana oleh nasabah, baik yang reguler maupun irreguler.
·
Saldo
minimum pada bank koresponden.
4) Strategi pengelolaan likuiditas
Didalam
memelihara likuiditas maka faktor ekstern harus diperhatikan dan diantisipasi.
Harus disadari bahwa perbankan syariah adalah industri yang masih dalam tahap
permulaan sehingga belum mampu menjadi pemimpin dalam industri perbankan
khususnya di Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut maka di dalam issue
likuiditas ini, disamping bersaing dengan sesama bank syariah, persaingan juga
terjadi dengan bank konvensional yang
sudah mapan. Untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah likuiditas dikaitkan
dengan upaya pengembangan bank syariah, tuntutan deposan, profesionalitas,
tingkat profitabilitas dan kepatuhan terhadap sistem syariah, bank syariah
harus melakukan hal-hal berikut ini:
a) Menggiatkan pendidikan dan sosialisasi
bank Islam khususnya menjelaskan tentang aspek-aspek ekonomi dan sistem nilai
keislaman kepada masyarakat. Diharapkan dengan cara ini akan memberikan dampak
positif berikut :
o Deposan/investor baru akan datang
mendeposit dananya ke bank Islam,
o Peningkatan dana baru yang masuk akan
meningkatkan kemampuan ekspansi bisnis Bank Islam dan suatu saat diharapkan
mampu mewarnai industri perbankan.
o Deposan tidak terpengaruh dengan Return
tinggi yang tidak halal yang ditawarkan oleh Lembaga keuangan konvensional.
b) Terus memperbaiki dan meningkatkan
kinerja bank Islam. Mengintensifkan dan fokus pada equity based financing daripada debt based financing
akan menyebabkan meningkatnya profit jangka pendek dan panjang. Saat ini
terbuka kesempatan untuk menyalurkan equity based financing seperti joint
financing untuk membiayai proyek-proyek pemerintah dan swasta, membeli sukuk
pemerintah atau corporate,dll. Menawarkan return tinggi dan kompetitif adalah
salah satu cara memelihara loyalitas segmen deposan rasional juga untuk menarik
deposan baru.
c) Memperkuat koordinasi, komunikasi dan
pengertian dengan deposan/investor dan patner bisnis. Terkait dengan pendekatan
syariah terhadap risiko likuiditas, proses mobilisasi dana dan proses
penyaluran dana menyangkut tiga komponen penting yaitu :
o Tingkah laku masyarakat karena
operasional bank syariah didasarkan pada amanah dan berbagi risiko dengan
patner bisnis,
o Harmonisasi asset dan liability,
o Pengukuran dan monitoring dana,
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Manajemen
likuiditas merupakan perkiraan terhadap permintaan dana oleh masyarakat dan
penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan. Instrumen likuiditas yang
biasa digunakan dalam bank syari’ah bisa berupa : Pertama, Primary reserves,
yang terdiri dari alat likuid (kas, giro pada bank sentral atau bank
koresponden, dan inkaso). Kedua, Secondary reserves, yang terdiri dari
instrument keuangan syariah.
Jika
terjadi kekurangan likuiditas, maka Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah perlu
mengupayakan dana dari Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dan jika tidak
mencukupi, maka Bank Indonesia akan memberi Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek
Syariah (FPJPS) dengan agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Dengan
didirikankan Lembaga Penjamin Simpanan, maka masyarakat yang menyimpan dananya
di bank tidak perlu khawatir ketika suatu bank mengalami masalah kesulitan
likuiditas. Simpanan setiap nasabah dijamin sampai batas maksimum yang telah
ditentukan serta bunga/bagi hasil untuk nasabah akan dibayarkan oleh LPS.
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim,
Adiwarman. 2010. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta :
Rajawali Pers.
Antoniio, Syafi’i. 2001. Bank
Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta : Gema Insani.
Arifin,
Zainul. 2006. Dasar-Dasar
Manajemen Bank Syariah. Cetakan 4.
Muhammad. 2011. Manajemen
Bank Syari’ah. Yogyakarta : UPP STIM YKPN.
Soemitra, Andri.
2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah. Jakarta : Kencana.
http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html. 29 Februari 2012.
http://mudharabah-ekonomisyariah.blogspot.com/2010/05/manajemen-likuiditas-bank-syariah.html. 29 Februari 2012
http://luqmannomic.wordpress.com/2008/09/05/manajemen-likuiditas/. 29Februari 2012
judul : Manajemen likuiditas bank syari'ah
judul : Manajemen likuiditas bank syari'ah
judul : Manajemen likuiditas bank syari'ah
No comments:
Post a Comment