2.1 Konsep
/ Teori
2.1.1 Definisi Hiwalah
Kata Hiwalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang
dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang
berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang
Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari
tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hiwalah adalah
pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.
Hiwalah merupakan
pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu
orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah
pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang)
menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang
berkewajiban membayar hutang).
Sedangkan pengertian Hiwalah secara
istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai
berikut:
o Menurut Hanafi,
yang dimaksud hiwalah adalah : “Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang
berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
o Al-jaziri
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah: “Pemindahan utang dari
tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
o Idris Ahmad,
Hiwalah adalah: “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan
seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai
utang pula kepada yang memindahkan”
2.1.2
Jenis-Jenis
Hiwalah
a)
Hiwalah
Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang
pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada
pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama.
Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara
C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut
Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama
mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
b)
Hiwalah
Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak
penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada
Muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa
hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah
agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama,
baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya.
Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
o Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang
kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal
ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya
kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah
atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A
mempunyai hutang kepada piutang B.
o Hiwalah Dayn
Hiwalah ini
adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini
berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah dayn sama pengertiannya
dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.
2.1.3
Unsur Kerelaan
dalam Hiwalah
a)
Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah
berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang
wajib dalam hiwalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak
dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa
kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa
mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda. Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal
‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda
dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima
pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka
mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya
kewajibanmuhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hiwalah adalah
karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada
yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan
cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hiwalah.
Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda
memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hiwalah.
b)
Kerelaan Muhal
‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah
berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan
hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan
hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di
samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau
mewakilkan kepada orang lain. Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya
kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam
menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang
bukan menjadi kewajibannya. Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak
disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar
hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.
2.1.4
Beban Muhil
Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung
jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah
hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil,
hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal,
ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk
membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang
yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil[9].
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam
keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang
yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
2.1.5
Berakhirnya
Akad Hiwalah
Akad hiwalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini :
a)
Karena dibatalkan atau fasakh. Ini
terjadi jika akad hiwalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu
difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada
Muhil.
b)
Hilangnya hak Muhal Alaih karena
meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hiwalah sementara
Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
c)
Jika Muhal alaih telah melaksanakan
kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi
oleh semua pihak.
d)
Meninggalnya Muhal sementara Muhal
alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab
kepemilikan. Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah
itu menurut madzhab Hanafi.
e)
Jika Muhal menghibahkan atau
menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
f)
Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban
membayar hutang kepada Muhal Alaih.
2.2 Dasar Hukum Hiwalah
2.2.1
Al-Qur’an
bÎ)ur
c%x.
rè
;ouô£ãã
îotÏàoYsù
4n<Î)
;ouy£÷tB
4
br&ur
(#qè%£|Ás?
×öyz
óOà6©9
(
bÎ)
óOçFZä.
cqßJn=÷ès?
ÇËÑÉÈ
“Dan
jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai
Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 280)
2.2.2
Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh,
bahwa Rasulullah saw, bersabda:
مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي
فليتبع
“Memperlambat
pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika
salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka
hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
2.2.3
Fatwa DSN MUI
No. 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hiwalah
a)
Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang
yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang
berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil
dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang muhil kepada
muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
b)
Pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad).
c)
Akad dituangkan secara tertulis,
melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
d)
Hawalah dilakukan harus dengan
persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
e)
Kedudukan dan kewajiban para pihak
harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
f)
Jika transaksi hawalah telah dilakukan,
pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan
muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2.2.4
Ijma
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah
dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah
adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban
finansial.
2.3 Rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah
hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul
(penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan
Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
a)
Pihak pertama, muhil (المحيل): Yakni orang
yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
b)
Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
c)
Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada
muhtal.
d)
Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
e)
Ada hutang pihak ketiga kepada pihak
pertama, Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
f)
Ada sighoh (pernyataan hiwalah).
2.4 Syarat-Syarat Hiwalah
Persyaratan hawalah ini berkaitan
dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia
disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal
ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah
dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat
dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil.
Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak
sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha
terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin
dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan
Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini
sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal
karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad
hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal
Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal
dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga,
ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal
Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari
Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya
bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.
2.5 Aplikasi Hiwalah di Lembaga Keuangan Syari’ah
Dalam praktek perbankan syariah
fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar
dapat melanjutkan usahanya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
hutang. Untuk mengantisipasi kerugian yang akan timbul bank perlu melakukan
penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara
yang memindahkan hutang dengan yang berhutang. Karena kebutuhan supplier akan
di likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengalih piutang. Bank akan menerima
pembayaran dari pemilik proyek.
Kontrak hiwalah biasanya diterapkan dalam
hal-hal berikut:
o Factoring atau
anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki hutang pada pihak ke 3
memindahkan piutang itu kepada bank.
o Post-dated
check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang
tersebut.
o Bill discounting.
Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya saja, dalam bill
discounting nasabah hanya membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak di
dapati dalam kontrak hiwalah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang
yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi
perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam
istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang
dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal
‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
Hiwalah
Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang
kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak
ketiga ini berhutang kepada orang pertama.
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil
mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya
hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan
para ulama.
Dalam praktek perbankan
syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal
tunai agar dapat melanjutkan usahanya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa
pemindahan hutang. Untuk mengantisipasi kerugian yang akan timbul bank perlu
melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran
transaksi antara yang memindahkan hutang dengan yang berhutang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasan. 1991. Terjemah Bulugul Maram. Bandung :
Diponogoro.
Azwar Karim, Adiwarman. 2010. Bank
Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : Rajawali Press.
Huda, Nurul dan mohamad Heykal.
2010. Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta :
Kencana.
Jaenudin. 2011. Ikhtisar
Fiqh Muamalah 1. Bandung : UIN SGD Bandung.
Sholeh
Achmad, Khudari, 1999. Fiqih Konstektua. Jakarta : PT.
Pertja.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh
Muamalah. Jakarta : Rajawali Press.
Syafe’i, Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka
Setia.
judul : hiwalah dan aplikasinya dalam lembaga keuangan syari'ah
judul : hiwalah dan aplikasinya dalam lembaga keuangan syari'ah
judul : hiwalah dan aplikasinya dalam lembaga keuangan syari'ah
website : syarifhidayat1992.blogspot.com
No comments:
Post a Comment