2.1 Dalil-Dalil Naqli Mengenai Hukum Asuransi Syari’ah
2.1.1 Q.S. Huud : 6
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
mahfuzh).”
2.1.2 Q. S. An-Naml: 64
“Atau
siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya
(lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi?
Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah
bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".
2.2 Undang-Undang Mengenai Hukum Asuransi Syari’ah
2.2.1
Undang-Undang No.2 Tahun 1992
Perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum
pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
2.2.2 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) Bab 9 Pasal 246
Asuransi atau Pertanggungan
adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tertentu.[2]
2.3 Pendapat Para Ahli Mengenai Hukum Asuransi Syari’ah
2.3.1 R. Subekti
Hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan.[3]
2.3.2 Sayyid Sabiq
Asuransi tidak termasuk
mudharabah yang sahih melainkan mudharabah yang fasiq yang tentu hukumnya
secara syarak bertentangan dengan hukum akad asuransi, ditinjau dari segi
undang-undang. Hal ini terjadi karena tidak mungkin dapat dikatakan bahwa
perusahaan (syirkah) menyumbang orang yang mengasuransikan dengan
pembayarannya. Akad asuransi ditinjau dari segi aturan mainnya adalah akad
perolehan berdasarkan perkiraan.[4]
2.3.3 Syaikh Mustafa Al-Zarka
Perjanjian asuransi
adalah hal baru dan bermanfaat. Ia lahir dari penemuan-penemuan teknologi baru
dan hubungan ekonomi baru yang menyebabkan banyak orang membutuhkan
perlindungan serupa. Kalau perjanjiannya tidak mengandung hal-hal yang di
larang syariah maka hukumnya boleh. Beberapa hal yang di larang antara lain:
Klausul bunga, unsur gharar atau yang diperjanjikan adalah sesuatu yang
terlarang (misalnya pengangkutan minuman beralkohol dan sebagainya).
Berdasarkan uraian tersebut maka diperbolehkan mengasuransikan rumah, mobil,
dan harta kekayaan lainnya, tentunya kepada asuransi syariah.[5]
2.3.4 Emmy Pangaribuan Simanjuntak
Penggantian kerugian
yang diberikan oleh pihak penanggung sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai
suatu ganti rugi oleh karena orang yang meneriman ganti rugi yang
sungguh-sungguh sesuai dengan kerugian yang dideritanya. Ganti rugi yang
diterimanya itu sebenarnya itu adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu
yang telah disepakati oleh pihak-pihak.[6]
2.3.5 Mehr dan Cammack
Di negara-negara maju
asuransi mendapat tempat utama bahkan kemajuan dinegara itu didorong dan
seiring dengan kemajuan asuransinya. Asuransi merupakan jaminan dan payung
kemajuan dan kehidupan.[7]
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi Asuransi Syari’ah
Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’min yang berasal dari kata amanah yang berarti memberikan
perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah
menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau
orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya
yang hilang. Sedangkan pihak yang menjadi penanggung asuransi disebut mu’amin dan pihak yang menjadi
tertanggung disebut mu’amman lahu atau
musta’min.
Konsep asuransi Islam berasaskan konsep Takaful yang
merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta.
Takaful berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata ”kafala yakfulu” yang
artinya tolong menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang.
Takaful yang berarti saling menanggung/memikul resiko antar umat manusia
merupakan dasar pijakan kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Saling pikul
resiko inidilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan
cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru) yang ditujukan untuk menanggung
resiko tersebut.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah
(ta’min, takaful’ atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong
menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk set
dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko
tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah bersifat saling melindungi dan tolong
menolong yang dikenal dengan istilah ta’awun,
yaitu prinsip hidup yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas
dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi
hal tak tentu yang merugikan.
3.2 Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Suatu
asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari
prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah
tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a)
Asuransi
syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling
menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,
“Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan
ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
b)
Asuransi
syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
c)
Sumbangan
(tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya
ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
d)
Setiap
anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus
disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari
uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat
memerlukan.
e)
Tidak
dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia
mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia
diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan
oleh jamaah.
f)
Apabila uang
itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.[8]
3.3 Ciri-Ciri Asuransi Syari’ah
Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah :
a)
Akad
asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak
boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan
berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil
jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak
lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah
bukan riba.
b)
Akad asuransi
ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah
pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk
mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat
melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau
pengurus yang ditunjuk bersama).
c)
Dalam
asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan
aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
d)
Akad asuransi
syari’ah bersih dari gharar dan riba.
e)
Asuransi
syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
3.4 Manfaat Asuransi Syari’ah
Berikut ini
beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
a)
Tumbuhnya
rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
b)
Implementasi
dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
c)
Jauh dari
bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
d)
Secara umum
dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita
satu pihak.
e)
Juga
meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan
dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu,
dan biaya.
f)
Pemerataan
biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan
tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya
tidak tertentu dan tidak pasti.
g)
Sebagai
tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat
terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
h)
Menutup Loss
of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat
berfungsi(bekerja).[9]
3.5 Dasar Hukum Asuransi Syari’ah
Dari segi hukum positif,
hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada
Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian.
Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu Asuransi adalah suatu perjanjian
dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.
Pengertian diatas tidak
dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak
mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur
teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya.
Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan
Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut
dikeluarkan kareni regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah
memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi
kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri
Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No.
424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No.
4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem
asuransi berbasis Syariah.
3.6 Persamaan Antara Asuransi Syari’ah dengan Asuransi
Konvensional
Jika diamati
dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional
dengan asuransi syariah, diantaranya adalah :
a)
Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan
dari masing- masing pihak.
b)
Kedua-duanya memberikan jaminan
keamanan bagi para anggota
c)
Kedua
asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
d)
Kedua-duanya
berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.[10]
3.7 Perbedaan Antara Asuransi Syari’ah dengan Asuransi Konvensional
Asuransi syariah (tabarru’) itu diperbolehkan, sedangkan asuransi
konvensional adalah jenis baru perjanjian finansial yang tidak dikenal dalam
sejarah fiqh. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendeknya, yang membedakan asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional
adalah bahwa asuransi syari’ah operasionalnya didasarkan atas asas
tolong-menolong dan preminya bukan merupakan ongkos perlindungan terhadap
risiko melainkan biaya keanggotaan (dana tabarru’) para peserta yang sudah
diniatkan untuk keperluan tolong-menolong jika ada salah satu peserta asuransi
yang tertimpa musibah. Sedangkan asuransi konvensional didasarkan pada
pertukaran antara dua pihak dan premi adalah harga perlindungan terhadap
risiko.[11]
Dibandingkan
asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam
beberapa hal, yaitu :
a)
Keberadaan
Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu
keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan
investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi
konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
b)
Prinsip akad
asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu
menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad
asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan
perusahaan).
c)
Dana yang
terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan
berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada
asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan
sistem bunga.
d)
Premi yang
terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi
konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki
otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
e)
Untuk
kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana
sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong
bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional,
dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
f)
Keuntungan
investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan
selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada
klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari
perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional
tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi
kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat
yang ada dalam asuransi tersebut.
3.8 Hukum Asuransi Jiwa
Ada tiga pendapat tentang asuransi jiwa menurut
ulama masa kini. Pendapat pertama
menyatakan bahwa asuransi jiwa adalah konsep baru
yang di kenal dalam sejarah fiqh. Para ulama menganggap bahwa asuransi hukumnya
haram, dengan argumen bahwa ia termasuk riba, perjudian, gharar, dan spekulasi
terhadap kehendak Allah.
Pendapat kedua mengatakan
bahwa asuransi mengandung gharar karena
tidak ada yang tau apakah kewajiban penjamin (perusahaan asuransi) akan
terwujud atau tidak dan kapan kalau memang bakal terwujud. Ini adalah gharar
kelas berat yang menyebabkan cacat serius dalam perjanjian. Karena itulah
asuransi jenis ini di larang.
Pendapat ketiga
disampaikan oleh Syaikh Mustafa Al-Zarqa. Beliau berpendapat bahwa gharar dalam
perjanjjian ini di hapuskan oleh fakta bahwa ini adalah perjanjian yang didasarkan
pada pengetahuan statistik yang jelas dan penerapan teori probabilitas. Dengan
pertimbangan ini, tidak ada gharar bagi penjamin dan perjanjian itu di perbolehkan dengan dua syarat,
yakni tidak mengandung klausul riba
dan yang diasuransikan harus halal
Argumen lama (sejak tahun 1950-an), yang dianut bahkan
oleh mereka yang menentang asuransi, bahwa ketika asuransi diwajibkan oleh
hukum, orang harus menerimanya dan dia dimaafkan, dari sudut pandang syariah.
Bisa kita tambahkan disini bahwa asuransi yang disediakan atas itu dibayar
penuh oleh atasan, misalnya diberikan sebagai tunjangan tanpa beban premi yang
di potong dari gaji. Ini bisa disebut hibah dari atasan dan jika terjadi
kecelakaan polis yang di bayar itu halal hukumnya karena merupakan hasil dari
hibah.[12]
3.9 Hukum Mengasuransikan Harta
Syeikh Mustafa Al-Zarqa berpendapat bahwa apabila perjanjian itu
tidak mengandung hal-hal yang di larang syariah maka hukumnya boleh. Beberapa
hal yang di larang antara lain: Klausul bunga, unsur gharar atau yang
diperjanjikan adalah sesuatu yang terlarang (misalnya pengangkutan minuman
beralkohol dan sebagainya). Berdasarkan
uraian tersebut maka diperbolehkan mengasuransikan rumah, mobil, dan
harta kekayaan lainnya, tentunya kepada asuransi syariah.[13]
Asuransi rumah, misalnya, disepakati merupakan
transaksi judi. Para ulama mengambil keterangan dari Kitab al-Nahdlatul Islamiyah, bahwa asuransi menyerupai pemberian kupon dimana
seseorang yang membelinya selama hidupnya menunggu tanpa memperoleh kemenangan.
Nasabah dijanjikan memperolah jaminan rumah jika
terbakar. Jaminan ini memang disukai barangkali karena bila pemiliknya meningal
atau terjadi kebakaran pada rumahnya maka ia memperoleh uang sebesar jaminan
yang telah ditetapkan. Sementara selama menempati rumah tersebut ia harus
membayar premi yang ditetapkan pihak perusahaan asuransi. Dikatakan, itu jelas
merupakan judi murni karena dua pihak yang telah melakukan transaksi pada
dasarnya masing-masing tidak mengetahui siapakah diantara mereka yang memeperoleh
keuntungan, sampai uang yang disepakati oleh keduanya diberikan.
3.10
Hukum
Mengasuransikan Masjid
Terdapat dispensasi dalam Islam yang mengizinkan beberapa
hal terlarang karena desakan kebutuhan. Oleh sebab itu, jika benar bahwa masjid
yang ditanyakan sungguh-sungguh berada dalam resiko tertimpa musibah dan
mengasuransikan akan menghindarkan musibah, serta tidak ada sistem asuransi
syariah (takabul) yang halal di negeri tempat masjid itu berada, yang
ada hanya asuransi ribawi, maka dispensasi bisa diberikan kepada penggung jawab
masjid untuk mengasuransikannya menurut sistem ribawi itu hingga ada suatu
alternatif islami. Kalau alternatif yang dimaksud sudah ada, masjid itu harus
mengakhiri perjanjiannya dengan perusahaan asuransi komersial dan mengikatkan diri
dengan perusahaan baru yang menggunakan sistem asuransi syariah.[14]
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep asuransi Islam berasaskan konsep Takaful yang
merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta.
Takaful yang berarti saling menanggung/memikul resiko
antar umat manusia merupakan dasar pijakan kegiatan manusia sebagai makhluk
sosial. Saling pikul resiko inidilakukan atas dasar saling tolong menolong
dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru) yang
ditujukan untuk menanggung resiko tersebut. Asuransi
Syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan
istilah ta’awun, yaitu prinsip hidup
yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah
antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal tak tentu yang
merugikan.
Asuransi syari’ah operasionalnya didasarkan atas asas tolong-menolong dan
preminya bukan merupakan ongkos perlindungan terhadap risiko melainkan biaya
keanggotaan (dana tabarru’) para peserta yang sudah diniatkan untuk keperluan
tolong-menolong jika ada salah satu peserta asuransi yang tertimpa musibah.
Sedangkan asuransi konvensional didasarkan pada pertukaran antara dua pihak dan
premi adalah harga perlindungan terhadap risiko. Asuransi
konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah
yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan
syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Darmadi, Herman. 2000. Manajemen
Asuransi. Jakarta : Bumi Aksara
Kadir, A. 2010. Hukum Bisnis Syari’ah
dalam Al-Qur’an. Jakarta : Amzah
Kahf, Monzer. 2010. Tanya Jawab
Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syari’ah. Solo : PT Aqwam
Media Profetika
Muslehuddin, Muhammad. 1999.
Menggugat Asuransi Modern. Jakarta : Lentera
Suparman Sastrawidjaja, Man. 1997. Hukum
Asuransi. Bandung : PT Alumni
Triyuwono, Iwan. 2006. Akuntansi
Syari’ah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Yafie, Ali. 1994. Asuransi dalam
Pandangan Syari’at Islam. Bandung : Mizan
[5] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis
Kontemporer dalam
Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 66-67
[10] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis
Kontemporer dalam
Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 68-69
[11] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis
Kontemporer dalam
Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 68-69
[12] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis
Kontemporer dalam
Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 64-66
[13] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis
Kontemporer dalam
Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 66-67
[14] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis
Kontemporer dalam
Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 68
No comments:
Post a Comment