2.1
2.1.1
Definisi Istishna
Lafal istishna’ berasal dari akar kata shana’a ( صنع)
diatambah alif, sin, dan ta’ menjadi istisna’a ( استصنع)
yang sinonimnya , طلب أن يصنعه له artinya : “meminta untuk dibuatkan sesuatu”. Adapun
secara istilah ba’i al-istishna adalah permintaan atau pesanan dari pihak
pemesan tentang sesuatu yang khusus dan dikerjakan dengan cara yang khusus. [1]
Dalam definisi lain dijelaskan istishna adalah menjual barang yang dibuat
(seseorang) sesuai dengan pesanan.[2]
Pengertian istishna’ menurut istilah tidak jauh berbeda dengan
menurut bahasa. Wahbah zuhaili mengemukakan pengertian menurut istilah ini
sebagai berikut :
تعريف الإستصناع هوعقد مع صا نع علي عمل شيء معين في الذمة, أي العقد على شراء
ما سيصنعه الصا نع و تكون العين ولعمل من الصنع.
“ defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta
seorang produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ;
yakni akad untuk membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang
serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.”
Ali Fikri memberikan defenisi istishna’ sebagai
berikut :
الإ ستصنا ع هو طلب عمل شيء خاص على وجه مخصوص ما دته من طرف الصنع.
” istishna’ adalah suatu permintaan untuk
mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya (
bahannya ) dari pihak penbuat ( tukang ).”
Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas
dapat dipahami bahwa akad istishna’ adalah akad antara dua
pihak dimana pihak pertama ( orang yang memesan/ konsumen ) meminta kepada
pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ) untuk dibuatkan suatu barang,
seperti sepatu, yang bahannya dari pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen
). Pihak pertama disebut mustashni’ , sedangkan pihak kedua,
yaitu penjual disebut shani’ , dan sesuatu yang menjadi objek
akad disebut mushnu’ atau barang yang dipesan ( dibuat ).
Apabila bahan yang dibuat berasal dari mustashni’ bukan
dari shani’ maka akadnya bukan istishna’ melainkan ijarah. Namun
demikian sebagian fuqaha mengatakan bahwa objek akad ishtisna’
itu hanyalah pekerjaan semata, karena pengertian istishna’ itu
adalah permintaan untuk membuatkan sesuatu, dan itu adalah pekerjaan.
Istishna’ adalah akad yang menyerupai akad salam , karena
bentuknya menjual barang yang belum ada (ma’dum) dan sesuatau yang akan dibuat
itu pada akad ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual. Hanya saja
ada beberapa perbedaan dengan salam karena :
a) Dalam
ishtisna’ harga atau alat pembayarana tidak harus dibayar dimuka seperti pada
akad salam.
b) Tidak ada
ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan.
c) Barang yang
dibuat tidak harus ada dipasar.
Dari sisi lain ishtisna’ ini hampir sama
dengan ijarah (sewa –menyewa), namun berbeda dengan ijarah ,
karena dalam istisna’ si pembuat atau produsen menggunakan barang
atau bahan yang dibuat dari hartanya sendiri bukan dari harta mustasyi’ atau
pemesan.[3]
2.1.2
Hakekat Akad
Istishna
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang
hakekat akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli
barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan
dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). Sebagian lainnya menganggap
sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna',
akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua
selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah
menjadi akad jual beli.
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan
fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen
hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya
membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya
terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.[4]
2.1.3
Berakhirnya
Akad Istishna
Kontrak istishna biasa berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
a)
Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah
piahk,
b)
Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk
menghentikan kotrak
c)
Pembatalan hukum kontrak ini jika muncul sebab yang
masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan
masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.[5]
2.1.4
Perbedaan
antara Salam dan Istishna
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama
dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung
(bai’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara
salam dengan istisna’, yaitu :
a)
Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada
saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad
berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
b)
salam mengikat para pihak yang mengadakan akad
sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen
sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir
Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat
barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu
barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku
dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku
di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah. [6]
SUBJEK
|
SALAM
|
ISTISHNA
|
ATURAN DAN KETERANGAN
|
Pokok Kontrak
|
Muslam
Fiihi
|
Mashnu’
|
Barang di
tangguhkan dengan spesifikasi.
|
Harga
|
Di bayar
saat kontrak
|
Bisa saat
kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari
|
Cara
penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
|
Sifat Kontrak
|
Mengikat
secara asli (thabi’i)
|
Mengikat
secara ikutan (taba’i)
|
Salam
mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk
melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen
secara tidak bertanggung jawab.
|
Kontrak Pararel
|
Salam
Paralel
|
Istishna’
Pararel
|
Baik salam
pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum
adalah terpisah.
|
2.2 Dasar Hukum Istishna’
2.2.1 Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba”. (Qs. Al-Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama'
menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang
nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
2.2.2
As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي
الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ
إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ
إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى
أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat
kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab
tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar
ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad
istishna' adalah akad yang dibolehkan.
2.2.3
Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat
Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad
istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala
tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk melarangnya.
2.2.4
Kaidah
Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab
fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal
selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga
ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
2.2.5
Fatwa DSN
MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna
1)
Pelaku, harus cakap hukum dan baligh.
2)
Objek akad:
a)
Ketentuan tentang pembayaran
o
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya,
baik berupa uang, barang, atau mamfaat,
demikian juga dengan cara pembayarannya.
o
Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh
berubah. Akan tetapi apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah
spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi
tanggung jawab pembeli.
o
Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
o
Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
b)
Ketentuan tentang barang
o
Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis,
ukuran, motu) sehingga tidak ada lagi jahalah dan perselisian dapat dihindari.
o
Barang pesanan diserahkan kemudian.
o
Waktu dan penyerahan pesanan harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan.
o
Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh
dijual.
o
Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang
sejenis sesuai dengan kesepakatan.
o
Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai
dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan
atau mebatalkan akad.
o
Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan
kesepakatan, hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak
dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan.
3)
Ijab kabul
Adanya pernyataan dan espresi saling ridha/rela
diantara pihak-pihak akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui
korespondensi atau menggunakan cara-cara komonikasi mudern.
Fatwa No. 22/DSN-MUI/III/2002. Tentang Jual Beli Istishna’ Pararel
1)
Jika LKS melakukan transaksi istishna’, untuk
memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi dengan
pihak lain pada objek yang sama, dengan syarat istishna’ pertama tidak tergantung
(Mu’allag) pada istishna’ kedua.
2)
LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk
memungut MDC (Margin During Construction) dari nasabah (Shani’) karena hai ini
tidak sesuai dengan prinsip syariah.
3)
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan diantara
para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah Tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
4)
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya,
dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata dapat kekeliruan, akan diubah
dan disempurnakan sebagai mestinya.[7]
2.2.6
Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai
dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan
demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk
memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan,
maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu
kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu
kelangsungan hidup masyarakat. [8]
2.3
Rukun dan
Syarat Jual Beli Istishna
Rukun istishna’ menurut
Hanafiyah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi menurut jumhur
ulama, rukun istishna’ ada empat, yaitu sebagai berikut :
a)
‘Aqid yaitu shani’ ( orang yang membuat/
produsen ) atau penjual
b)
mustashni’ ( orang yang memesan/ konsumen ), atau pembeli.
c)
ma’qud ‘alaih , yaitu ‘amal ( pekerjaan ), barang
yang dipesan, dan harga atau alat pembayaran
d)
shighat atau ijab dan qabul.
Adapun syarat- syarat istishna’ adalah
sebagai berikut :
a) Menjelaskan tentang jenis barang
yang dibuat, macam, kadar, dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang
yang dijual ( objek akad ).
b) Barang tersebut harus berupa
barang yang berlaku muamalat diantara manusia, seperti bejana,
sepatu, dan lain-lain.
c) Tidak ada ketentuan mengenai
tempo penyerahan barang yang dipesan. Apabila waktunya ditentukan, menurut Imam
Abu Hanifah, akan berubah menjadi salam dan berlakulah
syarat-syarat salam, seperti penyerahan alat pembayaran ( harga )
dimajelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad, syarat ini tidak
diperlakukan. Dengan demikian menurut mereka, istishna’ itu
hukumnya sah, baik waktunya ditentukan atau tidak, karena menurut adat
kebiasaan, penentuan waktu ini bisa digunakan dalam akad istishna’ .[9]
2.4
Aplikasi
Jual Beli Istishna dalam Lembaga Keuangan Syari’ah

Skema
mekanisme transaksi jual beli istishna’
Dalam perbankan syariah prinsip
pokok minimal dalam pembiayaan istisna’ ada beberapa hal yang harus dipenuhi yaitu
sebagai berikut :
a) Istishna’ adalah sistem jual beli
yang dikecualikan, pada harga yang disetujui, ketika pembeli menempatkan order
untuk diproduksi, dirakit, atau dibangun, atau melakukan sesuatu yang harus
diserahkan pada masa yang akan adatang.
b) Komoditas harus diketahui secara
spesifik sampai tidak ada keraguan mengenai spesifikasinya. Termasuk jenis,
kualitas, dan kuantitas.
c) Harga barang yang akan diproduksi
harus sudah dipatok dalam angka absolut dan tidak kabur. Harga yang disepakati
dapat dibayar secara tangguh ataupun dicicil sesuai
kesepakatan kedua belah pihak.
d) Penyediaan kebutuhan material
yang dibutuhkan unutk memproduksi komoditas menjadi tanggung jawab pembeli.
e) Kecuali disepakati bersama,
masing- masing pihak dapat membatalkan kontrak sepihak jika penjual belum
menanggung ongkos apapun, langsung maupuun tidak langsung.
f) Jika barang yang diproduksikan
sesuai dengan baranag yang disepakati, pembeli tidak dapat menolak unutk
menerima barang tersebut, kecuali jika jelas- jelas ada cacat pada barang
tersebut. Namun, perjanjian dapat mengatur bahwa jika penyerahan tidak
dilakukan dalam jangka waktu yang disepakati, maka pembeli dapat menolak unutk
menerima barang.
g) Bank ( pembeli istishna’ ) dapat
melakukan kontrak istishna’ paralel tanpa adanya syarat atau kaitan
dengan kontrak istishna’ pertama. Dalam istishna’ pertama bank menjadi pembeli,
dan pada istishna’ kedua bank menjadi penjual. Tiap kontrak tersebut harus
indipenden dari yang lain
h) Dalam transaksi istishna’,
sebelum mendapat penguasaan dari barang tersebut pembeli tidak boleh menjual
atau mengalihkan kepemilikan barang kepada orang lain.
i) Jika penjual gagal untuk
menyerahkan barang dalam periode yang telah ditentukan, harga komoditas dapat
diturunkan sejumlah tertentu per hari sesuai dengan perjanjian.
j) Perjanjian istishna’ dapat
menyertakan denda yang dihitung dalam persen dalam perhari/ tahun sesuai
kesepakatan yang hanya oleh digunakan utuk dan sosial. Bank juga dapat mengadu
kepada pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi (solatium ), atas kebijaksaan
pengadilan yang harus ditetapkan berdasarkan biaya langsung dan biaya tidak
langsung yang timbul, selain biaya kesempatan (opportunity costs ), juga
jaminan dapat dijual oleh bank tanpa intervensi dari pengadilan.
k) Jika terjadi kegagalan oleh klien
( sana’i ), bank juga daoat megadu kepada pengadilan untuk mendapatkan ganti
rugi kerusakan, atas kebijaksanaan pengadilan, yang harus ditetpkan berdasarkan
biaya langsung dan biaya tak langsung, selain biaya kesempatan ( opportunity
costs ).
Dalam sebuah kontrak bai’
al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator
untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat
kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak
baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan
dengan syarat akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad
pertama antara bank dan pembeli akhir serta akad kedua di lakukan setelah akad
pertama sah.
Ada beberapa konsekuensi saat
bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.
a) Bank Islam sebagai pembuat
kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab
terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk
sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada
kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian
atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
b) Penerima subkontrak pembuatan
pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan.
Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak
pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan
merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua
kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.
c) Bank sebagai shani’ atau pihak
yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada
nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya.
Kewjiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’ pararel, juga menjadi
dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.[10]
Untuk
memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna dan istishna
parallel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara periodic.
Berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan Bank Indonesia, pengawasan tersebut
dilakukan untuk:
a)
Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak
diharamkan oleh syariah Islam;
b)
Meneliti apakah bank membiayai pembuatan barang
yang diperlukan nasabah sesuai pesanan dan criteria yang disepakati;
c)
Memastikan akad istishna dan akad istishna parallel
dibuat dalam akad yang tepisah;
d)
Memastikan bahwa akad istishna’ yang sudah
dikerjakan sesuai kesepakatan hukumnya mengikat, artinya tidak dapat
dibatalkan.
Adanya
pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank Syariah untuk
hati-hati dalam melakukan transaksi jual beli istishna’ paralel dengan para
nasabah. Di samping itu bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib
administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap
saat dilakukan pengawasan.[11]
2.5
Contoh
Simulasi Perhitungan dalam Transaksi Jual Beli Istishna
1)
Seorang nasabah akan merenovasi rumah dengan
melalui jasa kontraktor PT. Perkasa Sejahtera. Untuk keperluan tersebut nasabah
mengajukan fasilitas Pembiayaan Istishna kepada Bank BTN Syariah, dengan total
biaya Rp.10.000.000,-. Setelah dilakukan survey dan analisa, maka disetujui
fasilitas Istishna' oleh Bank BTN Syariah kepada Nasabah, dimana Bank BTN
Syariah melakukan Akad Istishna' I antara Bank BTN Syariah dan Kontraktor PT.
Perkasa Sejahtera melalui proyek.
Setelah
kontraktor membuat penyataan surat sanggup mengerjakan proyek, maka Bank BTN
Syariah menawarkan fasilitas Ishtishna' kepada Nasabah dengan ketentuan sebagai
berikut :
Akad
Istishna' II antara Bank BTN Syari’ah dan Nasabah, melalui proyek sebagai
berikut :[12]
a)
Nama Proyek :
Renovasi Rumah
b)
Lokasi dan Spesifikasi Proyek : Terlampir
c)
Lama Waktu Pengerjaan : 3 bulan
d)
Total Biaya :
Rp. 10.000.000,-
Persyaratan
Fasilitas Istishna' adalah sebagai berikut :
a)
Harga Beli Proyek Renovasi rumah : Rp. 10.000.000,-
b)
Harga Jual pada Nasabah (Harga Jual = Harga Beli +
Margin)
: Rp. 16.000.000,-
c)
Jangka Waktu Pengerjaan Proyek : 3 bulan sejak akad pembuatan proyek
antara Bank BTN Syari’ah dan Kontraktor
d)
Jangka Waktu Angsuran Harga Jual : 2 tahun setelah proyek selesai
e)
Besarnya Angsuran/bulan (16 juta / 24): Rp.
666.700,-
f)
Biaya Administrasi :
Rp. 100.000,-
2) CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam
bidang pembuatan dan penjualan sepatu memperoleh order untuk membuat sepatu
anak sekolah SMU senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan kepada Bank
Syariah Plaju. Harga perpasang sepatu yang di ajukan adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya
di angsur selama tiga bulan. Harga perpasang sepatu di pasaran sekitar
Rp.90.000,-. Dalam hal ini Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok
produksi. CV.Selayang Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang
atau keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,- yang diperoleh dari hitungan
Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000 = Rp. 3.529.412.
Bank Syariah
Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Selayang Pandang dengan harga
yang lebuh murah, sehingga dapat di jual kepada masyarakat dengan harga yang
lebih murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga Rp.
86.000,-per pasang, sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang dengan
keuntungan keseluruhan adalah:[13]
Rp.
60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
istishna’ adalah akad
antara dua pihak dimana pihak pertama ( orang yang memesan/ konsumen ) meminta
kepada pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ) untuk dibuatkan suatu
barang, seperti sepatu, yang bahannya dari pihak kedua ( orang yang membuat/
produsen ). Pihak pertama disebut mustashni’ , sedangkan pihak
kedua, yaitu penjual disebut shani’ , dan sesuatu yang menjadi
objek akad disebut mushnu’ atau barang yang dipesan ( dibuat
).
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’,
bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk
melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak
istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak
baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan
dengan syarat akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad
pertama antara bank dan pembeli akhir serta akad kedua di lakukan setelah akad
pertama sah.
DAFTAR PUSTAKA
Jaenudin. 2011. Ikhtisar
Fiqh Muamalah I. Bandung : UIN SGD Bandung
Mubarok, Jaih.
2004. Perkembangan Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung : Pustaka
Bani Quraisy.
Sabiq, Al-Sayyid.
1983. Fiqh Al-Sunnah. Beirut : Dar Al-Fikr.
Suhendi, Hendi.
2005. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank
Syariah dari Teori ke
Praktek. Jakarta: Gema Insani
Anwar, Syaiful. Fiqh
Muamalah “Bai Istishna”. http://gudangilmu2kita. blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna.html. Diakses
tanggal 10 Maret 2013
Hendrakholid. Istishna’.
http://hendrakholid.net/blog/2011/11/. Diakses tanggal 10 Maret 2013.
Muhari,
Syafaat. Bai’ Istishna’. http://syafaatmuhari.wordpress.com /2011/07/03/ bai%E2%80%99-istishna%E2%80%99/. Diakses tanggal 10 Maret 2013.
Nasyiffa,
Nadira. Akad Istishna. http://nadiranasyiffa.blogspot.com/2011/12/ akad-istishna.html Diakses tanggal 10 Maret 2013
Syakur,
Husna. Akuntansi Syari’ah (Akad Istishna). http://husna-syakur.blogspot. com/2012/05/akuntansi-syariah-akad-istishna.html. Diakses
tanggal 10 Maret 2013.
[3] Anwar, Syaiful. : http://gudangilmu2kita.
blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna. html.
[6] Anwar, Syaiful. : http://gudangilmu2kita.
blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna. html.
[7] Syakur, Husna. : http://husna-syakur.blogspot. com/2012/05/akuntansi-syariah-akad-istishna. html.
[9] Anwar, Syaiful. : http://gudangilmu2kita.
blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna. html.
[10] Anwar, Syaiful. : http://gudangilmu2kita.
blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna. html.
[13] Muhari, Syafaat. http://syafaatmuhari.wordpress.com /2011/07/03/ bai%E2%80%99-istishna %E2%80%99/.
judul : aplikasi istishna dalam lembaga keuangan syariah
judul : aplikasi istishna dalam lembaga keuangan syariah
judul : aplikasi istishna dalam lembaga keuangan syariah
No comments:
Post a Comment