Wednesday, April 17, 2013

Madzhab Ekonomi Islam



A.    Konsep Dasar Ekonomi Islam
     Kehidupan orang-orang pra-Islam diwarnai dengan tajamnya stratafikasi sosial dengan berbagai implikasi psikologis yang menyertainya. Ada sejumlah kecil anggota masyarakat yang memiliki semua akses kekuatan, ekonomi, politik, intelektual dan juga religiokultural. Berbagai sisi kelebihan tersebut jalin-menjalin yang pada gilirannya menempatkan sekelompok kecil orang tersebut pada posisi yang sangat penting dengan semua hak istimewa yang dimilikinya. Sedangkan sejumlah besar lainnya berada pada posisi yang sangat kontras. Mereka hampir tidak memiliki akses kekuatan apapun, termasuk kemerdekaan pribadinya sebagai manusia, serta hak-hak perdatanya yang sangat mendasar. Mereka adalah orang-orang miskin dan budak-budak belian yang secara turun-temurun mewarisi kodrat
hidupnya tanpa menyadari hak-hak dasarnya sebagai manusia. Nabi Muhammad lahir untuk melakukan berbagai perubahan radikal dan meyeluruh, untuk mereformasi secara total kehidupan
manusia yang penuh dengan ketimpangan itu. Agama yang diajarkan membawa aspirasi dan ide tentang tauhid, demokrasi (politik) dan keadilan sosial (ekonomi). Sesuai dengan tingkat perkembangan pemikiran dan tahapan pertumbuhan sosial saat itu, Nabi memberikan petunjuk-petunjuk operasional dan teladan-teladan nyata melalu  sunnah-nya. Sebagai suatu cita (ideals) ajaran Islam telah sempurna disampaikan oleh Nabi kepada umatnya (QS.5:4). Namun dalam konteks aplikasinya lebih lanjut; pokok-pokok ajaran Islam tersebut memerlukan langkah-langkah sistematisasi dan interpretasiinterpretasi baru guna menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kehidupan umat manusia dan aspirasi-aspirasinya yang kian meningkat, sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri. Meminjam pernyataan Goldziher bahwa kebenaran Islam yang ada sekarang ini belumlah bulat. Kebulatannya masih menunggu karyakarya para generasi umat Islam lebih lanjut. 50 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007 Teks-teks keagamaan (al-Nushush al-Syar’iyyah) memuat banyak sekali pesan yang berkaitan dengan bidang kehidupan perekonomian, baik secara eksplisit (sharih) maupun implisit (ghairu sharih). Hanya saja secara keseluruhan aksentuasi dari nash-nash tersebut lebih pada ajaran-ajaran atau pesan-pesan moral universalnya, sesuai dengan semangat dasar al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral yang menekankan pada ide-ide keadilan sosial dan ekonomi. Misalnya pandangan Islam tentang dunia kerja, prinsip kebebasan dan kejujuran dalam berusaha, produktifitas kerja, dan sebagainya. Serta pandangan dunia (weltanschaung) Islam yang secara keseluruhan berhubungan erat dengan konsep teologi dan
eskatologi. Diantara ajaran-ajaran pokok tersebut misalnya adalah bahwa posisi manusia di bumi ini adalah sebagai khalifah Tuhan (al- Baqarah:30) dengan membawa amanat-Nya (al-Ahzab:72) untuk
menciptakan kemakmuran dan kesajahteraan (Hud:61). Manusia tidak boleh takut kepada alam. Karena alam ini justru diciptakan untuk “melayani” kepentingan mereka (al-Baqarah:29 ; al Jatsiyah:13). Mereka tidak boleh duduk pasif, tetapi mereka harus aktif berusaha dan bekerja (al-Jum’ah: 10 ; al-Ra’du:13). Mereka harus mencari bagian rizki yang halal. Dalam berusaha mereka harus mengindahkan nilai kejujuran (al-A’raf:85); atas dasar suka rela tanpa paksaan (al-Nisa:29) dalam bidang-bidang yang dibolehkan syariat dan bukan yang bathil (al-Maidah:3).

Meskipun mereka bebas mendapatkan dan memiliki setiap hasil jerih-payahnya, namun mereka juga harus memperhatikan fungsi sosial harta hasil usahanya itu demi kebaikan orang-orang yang nasibnya kurang beruntung (al-Hasyr:7 ; al-Taubah:34 ; al-Rum:30). Mereka juga harus hemat dan efesien dalam membelanjakan hartanya (al-Isra:26 ; al-Furqan:67) dan sebagainya. Terhadap pesan-pesan al-Qur’an tersebut dan juga yang ada dalam hadits atau sunnah rasul, perlu ada interpretasi dan konseptualisasi ke dalam bentuk ajaran yang sistematis sehingga akan lebih mudah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh siapa saja. Dengan demikian ajaran-ajaran luhur tersebut tidak lagi hanya merupakan himbauan moral tapi menjadi suatu sistem tatanan hidup yang dihayati sebagai way of life dan rule of game yang dipatuhi. Dengan cara itulah ajaran agama akan benar-benar membawa dampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan manusia, lahir dan bathin.  

·         Sejarah Singkat Ekonomi Islam
      Ekonomi Islam, menurut para pembangun dan pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai, oleh prinsip-prinsip relijius, berorientasi dunia dan akhirat. Dalam tataran paradigma seperti ini, para ekonom muslim masih dalam satu kata, atau setidaknya, tidak ada perbedaan yang berarti.2 Mayoritas para ekonom Muslim sepakat mengenai dasar pilar atau fondasi filosofis sistem ekonomi Islam: Tauhid, Khilafah, Ibadah, dan Takaful3, Khurshid Ahmad menambahkan: Rububiyyah dan Tazkiyah4, serta Mas- uliyyah (accountability) . Namun ketika dipertanyakan lebih lanjut: apa dan bagaimana ekonomi Islam itu? Di sinilah terjadi perbedaan, sehingga ada yang membagi mazhab ekonomi Islam itu menjadi tiga yaitu; mazhab Baqir al-Sadr, mazhab mainstream, dan mazhab alternatif-kritis6. Namun sayang pengembangan pemikiran ketiga mazhab ini belum begitu gencar, kecuali mazhab mainstream, dan nampaknya masih menunggu pemikiran cerdas dan kreatif dari para pendukungnya untuk mengembangkan. Namun demikian Ekonomi Islam tidak lepas dari terpaan kritik yang dilakukan oleh sejumlah ekonom. Pada umumnya kritikan tersebut dikelompokkan oleh Arif, seperti yang dikutip oleh M.Husein Sawit, menjadi tiga kelompok besar. Pertama, aliran yang mengatakan Ekonomi Islam merupakan penyesuaian sistem kapitalis atau disebut "the Adjusted Capitalism School". Kedua, disebut dengan kelompok konvensional atau "the Conventional School. kelompok perbedaan paham atau "the Sectarian Diversity School"7. Ada juga pernyataan kritis yang sepintas nampak sederhana namun cukup mendasar: apakah ekonomi Islam merupakan kapitalisme minus riba atau sosialisme plus Islam? Kemudian ada lagi kritik yang cukup tajam terhadap para ekonom Islam yang selama ini selalu mengkritik sistem ekonomi lain. Pernyataan kritis tersebut:
Secara keseluruhan, ekonomi Islam lebih berhasil
menjelaskan apa yang bukan ekonomi Islam, daripada
menentukan apa yang membuat ekonomi Islam berbeda
sama sekali dengan sistem ekonomi lain. Ekonomi Islam
juga lebih banyak mengungkap kelemahan sistem lain
daripada menunjukkan (bahwa ekonomi Islam) secara
substansial memang lebih baik.9
Semua kritik yang diajukan kepada Ekonomi Islam tersebut menuntut para pendukungnya untuk memberikan jawaban serius. Ada tiga penafsiran tentang istilah “ekonomi Islam”. Pertama, yang dimaksud adalah “ilmu ekonomi” yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam. Kalau ini yang dimaksud, maka akan timbul kesan bahwa ajaran Islam itu mempunyai pengertian yang tersendiri mengenai apa itu “ekonomi”. Hal ini tentu akan diikuti dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan ekonomi itu menurut ajaran Islam? Tepatnya, apakah yang dimaksud dengan “ilmu ekonomi Islam” itu? Disini bisa diajukan beberapa definisi menurut ekonom muslim.
Menurut Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalahmasalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam”. Menurut M.M. Metwally, “Ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas”. Menurut Hasanuzzaman,”Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat”.        Menurut Akram Khan, “Ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan studi terhadap kesejahteraan (falah) manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber-sumber daya di bumi berdasarkan kerjasama dan partisipasi”. Menurut Umar Chapra,”Ekonomi Islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqashid (tujuan-tujuan syariah), tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat”. Dawam Rahardjo berkesimpulan bahwa ilmu ekonomi Islam
sebenarnya sama saja dengan ilmu ekonomi umumnya, yaitu menyelidiki perilaku manusia dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi yang menyangkut pilihan terhadap sumberdaya yang
sifatnya langka dan alokasi sumberdaya tersebut guna memenuhi kebutuhan manusia. Dalam Islam, tujuan kegiatan ekonomi hanyalah merupakan target untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagian hidup di dunia maupun di akhirat, dengan melakukan ibadah kepada Allah. Ilmu ekonomi Islam memperhatikan dan menerapkan syariah dalam perilaku ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi. Penafsiran kedua, ekonomi Islam itu dalam artian "sistem ekonomi" (Islam). Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara metode tertentu. Misalnya, bank Islam dapat disebut
sebagai unit (terbatas) dari beroperasinya suatu sistem ekonomi Islam, bisa dalam ruang lingkup makro atau mikro. Bank Islam disebut unit sistem ekonomi Islam, khususnya doktrin larangan riba.
Dan ketiga, ekonomi Islam itu berarti perekonomian umat Islam atau perekonomian di dunia Islam, maka kita akan mendapat sedikit penjelasan dan gambaran dalam sejarah umat umat Islam baik pada masa Nabi sampai sekarang. Hal ini bisa kita temukan, misalnya, bagaimana keadaan perekonomian umat Islam di Arab Saudi, Mesir, Irak, Iran, Indonesia, dan sebagainya, atau juga perekonomian umat Islam di negara non-Islam seperti Amerika, Cina, Perancis, dan sebagainya.10 Kosa kata “ekonomi” merupakan kosa kata yang baru, dalam arti tidak dikenal pada masa awal Islam. Pada masa ini hanya mengenal istilah muamalah dalam arti luas, hubungan antar manusia secara umum: ekonomi, rumah tangga dan lain-lain. 10Tentang tiga pengertian ekonomi Islam tersebut: ilmu ekonomi, sistem ekonomi, dan perekonomian umat Islam. Istilah "iqtishad" (bahasa Arab) yang diartikan atau disepadankan dengan "ekonomi" merupakan kosa kata yang baru. Sehingga kita tidak menemukan pada literatur keislaman klasik, fikih.11 Kalau kita telusuri istilah "iqtishad" muncul dari perkembangan pemikiran Muhammad Iqbal (1876-1938) salah seorang tokoh pembaruan Islam dari India. Pada tahun 1902 Iqbal menerbitkan buku yang berjudul "'Ilm al-Iqtishad" (ilmu ekonomi).12 Pemikiran tentang ekonomi Islam sebagai kajian teoritis baru mulai ramai dibicarakan pada awal dasawarsa 1970-an, walaupun pembahasan yang bersifat fikih sudah tampak sebelumnya sebagai bagian dari pemikiran hukum Islam. Dalam rangka itu, pembahasan tentang bunga bank yang dikaitkan dengan konsep riba merupakan bagian yang penting dan selalu disebutkan. Oleh karena itu, gagasan mengenai bank Islam berkembang terlebih dahulu dalam upaya menerapkan prinsip ekonomi Islam.

Dan tampaknya pemikiran ekonomi Islam, di Indonesia khususnya, belum bergerak jauh dari tema
perbankan (lembaga keuangan lainnya). Dengan demikian pemikiran ekonomi Islam masih menunggu karya kreatif, ijtihad, para pendukungnya untuk mengembangkannya.

·      Kajian Pendekatan Ekonomi Islam Kontemporer
        Menurut Prof. Volker Nienhaus,13 dari Jerman, dalam tulisannya “Islamic Economics: Policy Between Pragmatism and Utopia”, ada empat pendekatan utama dalam kajian mengenai ekonomi Islam selama ini. Pertama, pragmatis; kecenderungan ini ditandai dengan penolakan ideologi-ideologi ekonomi yang diikuti dengan upaya melakukan sintesis atau ekleksi, yaitu mencampur berbagai gagasan dan teori yang dianggap paling praktis untuk dilaksanakan. Menurut Nienhaus kecenderungan inilah yang banyak diambil. Kedua, resitatif; pendekatan yang mengacu pada teks ajaran Islam, pendekatan ini mengacu pada hukum fikih, teologi, etika ekonomi. Ketiga, pendekatan utopian. Utopia adalah gambaran mengenai dunia yang kita inginkan. Pendekatan ini dikembangkan dengan merumuskan model manusia, misalnya homo economicus, atau manusia altruistis. Pendekatan yang terakhir, keempat, adaptif; berusaha melakukan penyesuaian diri berdasarkan kondisi setempat dan sejarah masing-masing umat Islam, seperti gagasan sosialisme Islam; sosialisme kerakyatan; sosialisme demokrasi.
       Menurut Muchtar Ahmad kajian ekonomi Islam selama ini dapat dikategorikan menjadi empat (4) corak.14 Pertama, kajian ekonomi Islam dalam lingkup normatif, dalam arti upaya menjelaskan dasardasar filosofis atau normatif suatu kajian ekonomi yang sesuai dengan tuntunan Islam, menurut ajaran baku dalam al-Qur'an dan hadis. Kedua, kajian ekonomi Islam hasil pemikiran atau penyelidikan para fukaha, pakar ekonomi, sosiolog, dan sebagainya seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Abu Yusuf, Umer Chapra dan sebagainya yang dilakukan secara kritis, baik melalui pemeriksaan teori dan tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap perilaku ekonomi muslim. Ketiga, kajian perbandingan antara perilaku ekonomi muslim dengan konsep sistem ekonomi Islam yang teoritis. Atau menghadapkan perilaku ekonomi muslim kepada nilai-nilai Islam. Dan keempat, kajian perbandingan antara konsep sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis serta perkembangan ekonomi kontemporer (gejala perkembangan sistem ekonomi dunia). Juga bisa ditambahkan disini perbandingan pemikiran antar para ekonom Islam itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh Mohamed Aslam Haneef (1995) dalam bukunya "Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis".









B.     Mazhab dalam Ekonomi Islam
         Seperti dapat difahami dari sisinya yang manapun, ekonomi dan ilmu ekonomi termasuk ekonomi Islam memiliki jangkauan atau ruang-lingkup yang sangat luas. Ekonomi Syariah, tidak semata-mata berhubungan dengan ihwal bahan baku, produksi, distribusi, pemasaran dan konsumsi seperti yang sering menjadi pembahasan utama ilmu ekonomi, akan tetapi ekonomi juga berhubungan dengan dunia kerja dan dunia usaha. Demikian pula halnya dengan lembaga-lembaga keuangan baik dalam bentuk bank maupun non bank. Dunia kerja dan dunia usaha kita terutama yang berhubungan dengan sektor riil dewasa ini terkesan sedemikian sempit. Dunia kerja dan usaha seolah-olah identik benar dengan dunia perdagangan (tijarah) dan industri-industri tertentu dengan buruh sebagai andalan utamanya; sementara sektor-sektor yang lain semisal kehutanan, pertanian, kelautan, transportasi dan lain-lain, belum digarap secara memadai apatah lagi profesional. Demikian pula dengan dunia keuangan yang seakan-akan identik benar dengan perbankan dan beberapa lembaga keuangan non bank khususnya asuransi. Sementara dalam bidang-bidang yang lain semisal pegadaian, tampak belum tertangani sebagaimana mestinya. Belum lagi mengamati kecenderungan pasar yang terkesan lebih berorientasi ke wilayah-wilayah perkotaan — atau tepatnya kota-kota besar dengan kurang peduli untuk tidak mengatakan mengabaikan pengembangan pasar yang sejatinya juga mengarah ke daerah-daerah pedesaan. Padahal, di antara prinsip ekonomi dan keuangan yang telah dan hendak terus dibangun oleh Islam/Syariah ialah prinsip keadilan dan pemerataan. Tanpa penerapan kedua prisnip ini, keadilan yang merata dan atau pemerataan yang berkeadilan, sistem ekonomi Islam tidak akan ada bedanya dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Dalam pada itu, upaya memperluas konsep dan wawasan ekonomi Islam/Syariah sebagaimana disinggung di atas, pada gilirannya menuntut pula pengembangan konsep hukum Islam tentang ekonomi dan keuangan. Hukum ekonomi dan keuangan Islam di Indonesia dewasa ini dapat dikatakan masih sangat terbatas. Bukan semata-mata terbatas dalam bidang/jenis ekonomi dan keuangan tertentu yang telah diaturnya; melainkan juga sangat terbatas dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai ilustrasi, dari 22 bidang hukum ekonomi/keuangan yang termuat dalam kitab Bulugh al-Maram sebagaimana dituliskan sebelum ini, baru sebagian kecil saja yang tercover dalam peraturan perundang-undangan. Bagian terbesar daripadanya, sama sekali belum tertuangkan ke dalam legislasi, bahkan sebagai bagian dari ilmu ekonomi sekalipun masih belum tersosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat luas. Kajian tentang ayat-ayat dan hadis-hadis hukum ekonomi di lembaga-lembaga tinggi, jelas masih terlalu jauh dari yang seharusnya, apalagi dari yang dicita-citakan. Selain terbatas tenaga ahlinya, juga sangat terbatas porsi waktu dan lain-lain yang disediakan untuk itu. Padahal, penurunan norma-norma hukum dan terutama nilai-nilai ekonomi Islam ke dalam hukum yang hidup di masyarakat apalagi dalam bentuk legislasi nasional, kini benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat hukum Indoneia. Minimnya peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah ini, menurut pengamatan pemakalah yang boleh jadi keliru, bukan disebabkan minimnya norma-norma hukum Islam yang dapat dikaji dan digali dari berbagai literatur yang tersedia; melainkan lebih disebabkan faktor-faktor lain di luar hukum Islam sebagai bahan bakunya. Kalau terpaksa juga harus disebutkan, maka di antara faktor penyebabnya ialah karena kemauan politik (political well) yang belum sepenuhnya mengayomi di samping keterbatasan dana yang dialokasikan untuk itu.

      Guna mempercepat proses legislasi nasional di bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah, maka mutlak diperlukan dukungan dana yang memadai di samping kemauan politik yang mengayomi. Tanpa kemauan politik yang mengayomi dan dukungan dana yang memadai, legislasi nasional di bidang ekonomi Syariah belum tentu lebih baik dari legislasi-legislasi nasional di bidang-bidang yang lain. Apalagi legislasi nasional yang berhubungan dengan dunia Syariah. Padahal, secara ideologis maupun konstitusi, hukum Islam (syariah) dalam konstelasi tata hukum Indonesia memiliki kedudukan yang sangat kuat dan memainkan peranan (fungsi) yang sangat penting. Di sinilah terletak arti penting dari keberadaan dan peran aktif Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, terutama dalam kapasitasnya sebagai salah satu badan yang fungsi utamanya laksana “dapur negara/pemerintah” untuk “memasak dan menyajikan” menu dalam kaitan ini hukum di Negara Hukum Indonesia (NHI). Hanya saja, dapur memang tidak mungkin “ngepul” tanpa ada dana yang sangat diperlukan untuk “membeli” bahan-bahan baku (penggalian dan penormaan hukum) yang hendak dimasak dan disajikan kepada masyarakat hukum. Guna memperlancar legislasi nasional hukum ekonomi Islam, agaknya mutahil bisa tanpa melibatkan pihak-pihak lain khususnya lembaga-lembaga pendidikan dalam kaitan ini lembaga pendidikan tinggi khususnya fakultas Hukum, fakultas Syariah dan atau fakultas Syariah dan Hukum yang tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS). Tentu dengan merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
      Dengan disahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum, jika tidak diselesaikan di lembaga arbitrase. Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
a. Bank syariah,
b.Lembaga keuangan mikro syari’ah,
c. asuransi syari’ah,
d. reasurasi syari’ah,
e. reksadana syari’ah,
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. Pembiayaan syari’ah,
i. Pegadaian syari’ah,
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
k. bisnis syari’ah
        Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah bahwa rujukan para hakim dalam memutuskan perkara ekonomi syariah belum tersedia dalam bentuk Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana yang terdapat pada hukum perkawinan, warisan, waqaf , washiat dan hibah. KHI dalam bidang-bidang ini telah dikeluarkan melalui Inpres No 1/1991.Urgensi pembentukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga dikarenakan hukum fiqh tentang aspek muamalah ini sangat beragam, apalagi persoalan muamalah ini adalah persoalan yang lebih terbuka bagi ijttihad, dibanding masalah ibadah. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum, sehingga keputusan para hakim di berbagai pengadilan tidak berbeda-beda dalam kasus yang sama.
       Peraturan Bank Indonesia (PBI) sangatlah tidak memadai untuk dijadikan rujukan dalam memutus perkara ekonomi syariah, karena peraturan yang dikeluarkanya hanya berkaitan dengan masalah perbankan, sedangkan masalah hukum ekonomi syariah lainnya tidak diatur, karena bukan wewenangnya. Demikian pula fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional yang telah berjumlah 54 fatwa. Selain kedudukakannya secara konstitusisonal tidak kuat dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, fatwa tersebut juga masih sangat ringkas, karena hanya berupa intisari (matan) yang membutuhkan penjelasan rinci. Namun demikian, baik PBI maupun fatwa DSN bisa dijadikan sebagai salah satu materi penyusunan draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Materi penyusunan KHI juga dapat merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani. yang disebut dengan Al-Majjalah Al-Adliyah Al-Ahkam yang terdiri dari 1851 Pasal. KUH Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas materi dan bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini Indonesia seyogianya membuat Kitab-Undang-Undang dalam bentuk Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam sebagaimana yang dilakukan Turki Usmani. Namun upaya tersebut saat ini, tampaknya masih sulit diwujudkan karena prosesnya panjang, baik di dalam persiapan materi, apalagi pembahasan di lembaga legislatif. Oleh karena itu, kita akan merumuskan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam yang dapat dikeluarkan melalui inpres atau kepres. Di masa depan, kedudukan Kompilasi ini seharusnya ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP), sehingga secara hirarkis kedudukannya satu tingkat di bawah Undang-Undang.
      Upaya penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini dapat terwujud melalui peran penting pemerintah, sebagaimana telah diterapkan pada penyusunan Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini (Inpres No 1/1991). Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia, Departemen Hukum dan HAM melalui BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) bekerjasama dengan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, membentuk Tim penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. BPHN dan UIN Jakarta bersinergi dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) yang merupakan ara dosen Pascasarjana UI. Upaya ini mendesak dilakukan mengingat praktek ekonomi syariah telah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia dalam bentuk perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi sariah, pegadaian syariah, lembaga keuangan mikro syariah dan sejumlah perusahaan sektor riil syariah.
       Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam, menggunakan ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh dan falsahah Hukum Islam, Disiplin ushul fiqh ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum ekonomi Islam tsb. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi syariah.. Bentuk ijtihad yang digunakan adalah ijtihad jama’iy yaitu berijtihad secara kolektif, di mana para ulama, pakar dan praktisi ekonomi syariah merumuskan dan menyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Islam tersebut secara bersama-sama, sehingga kekuatan hukumnya jauh lebih kuat dan akurat..

C.    Fungsi Mazhab dalam Ekonomi
         Tujuan-tujuan sistem ekonomi Islam menunjukkan bahwa kesejahteraan material yang berdasarkan nilai-nilai spiritual yang kokoh merupakan dasar yang sangat perlu dari filsafat ekonomi Islam. Karena dasar sistem Islam sendiri berbeda dari sosialisme dan kapitalisme, yang keduanya terikat pada keduniaan dan tak berorientasi pada nilai-nilai spiritual, maka suprastrukturnya juga mesti berbeda. Usaha apapun untuk memperlihatkan persamaan Islam dengan kapitalisme atau sosialisme hanyalah akan memperlihatkan kekurang-pengertian tentang ciri-ciri dasar dari ketiga sistem tersebut. Disamping itu, sistem Islam betul-betul diabdikan kepada persaudaraan umat manusia yang disertai keadilan ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan yang adil, dan kepada kemerdekaan individu dalam konteks kesejahteraan sosial. Dan perlu dinyatakan disini, bahwa pengabdian ini berorientasi spiritual dan terjalin erat dengan keseluruhan jalinan nilai-nilai ekonomi dan sosialnya. Berlawanan dengan ini, orientasi kapitalisme modern pada keadilan ekonomi dan sosial dan distribusi pendapatan yang adil hanyalah bersifat parsial saja, dan merupakan akibat desakan-desakan kelompok masyarakat, bukannya merupakan dorongan dari tujuan spiritual untuk menciptakan persaudaraan umat manusia, dan tidak merupakan bagian integral dari keseluruhan filsafatnya. Sedang orientasi sosialisme, walaupun dinyatakan sebagai hasil dari filsafat dasarnya, tidaklah benar-benar berarti, karena tiadanya pengabdian kepada cita persaudaraan umat manusia dan kriteria keadilan dan persamaan yang adil berdasarkan spiritual di satu pihak, dan di pihak lain karena hilangnya kehormatan dan identitas individu yang disebabkan karena tidak diakuinya kemerdekaan individu, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
        Komitmen Islam terhadap kemerdekaan individu dengan jelas membedakannya dari sosialisme atau sistem apapun yang menghapuskan kebebasan individu. Saling rela tak terpaksa antara penjual dan pembeli, menurut semua ahli hukum Islam, adalah merupakan syarat sahnya transaksi dagang. Persaratan ini bersumber dari ayat Al-Qur’an: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu memakan harta salah seorang diantaramu dengan jalan yang tidak benar; dapatkanlah harta dengan melalui jual beli dan saling merelakan” (QS. 4:29). Satu-satunya sistem yang sesuai dengan semangat kebebasan dalam way of life Islam ini adalah sistem dimana pelaksanaan sebagian besar proses produksi dan distribusi barang-barang serta jasa diserahkan kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang dibentuk dengan sukarela, dan dimana setiap orang diijinkan untuk menjual kepada, dan membeli dari siapapun yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak. Kebebasan berusaha, berlawanan dengan sosialisme, memberikan kemungkinan untuk hal itu dan diakui oleh Islam bersama-sama dengan unsur-unsur yang mendampinginya, yaitu pelembagaan hak milik pribadi.
         Al-Qur’an, As-Sunnah, dan literatur fiqh penuh dengan pembahasan yang terperinci tentang norma-norma yang menyangkut pencarian dan pembelanjaan harta benda pribadi dan perdagangan, dan jual beli barang-barang dagangan, disamping pelembagaan zakat dan warisan. Yang pasti tidak akan dibahas dengan demikian terperinci seandainya pelembagaan hak milik pribadi atas sebagian besar sumber-sumber daya yang produktif tidak diakui oleh Islam. Karena itu, peniadaan hak milik pribadi ini tidak dapat dipandang sesuai dengan ajaran Islam. Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai bagian integral dari sistem ekonomi Islam, karena di satu pihak pelembagaan hak milik pribadi tidak akan dapat berfungsi tanpa pasar. Dan dilain pihak, pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen untuk mengungkapkan keinginannya terhadap produk barang atau jasa yang mereka senangi diiringi kesediaan mereka untuk membayar harganya, dan juga memberikan kepada para pemilik sumber daya (produsen) kesempatan untuk menjual produk barang atau jasanya sesuai dengan keinginan bebas mereka. Motif mencari keuntungan, yang mendasari keberhasilan pelaksanaan sistem yang dijiwai kebebasan berusaha, juga diakui oleh Islam. Hal ini dikarenakan keuntungan memberikan insentif yang perlu bagi efisiensi pemakaian sumberdaya yang telah dianugerahkan Allah kepada umat manusia.
        Efisiensi dalam alokasi sumber daya ini merupakan unsur yang perlu dalam kehidupan masyarakat yang sehat dan dinamis. Tetapi karena adalah mungkin untuk menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, dan dengan demikian membawa kepada berbagai penyakit ekonomi dan sosial, maka Islam menempatkan pembatasan-pembatasan moral tertentu atas motif mencari keuntungan, sehingga motif tersebut menunjang kepentingan individu dalam konteks sosial dan tidak melanggar tujuan-tujuan Islam dalam keadilan ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil. Pengakuan Islam atas kebebasan berusaha bersama dengan pelembagaan hak milik pribadi dan motif mencari keuntungan, tidaklah menjadikan sistem Islam mirip dengan kapitalisme yang berdasarkan kebebasan berusaha. Perbedaan antara kedua hal itu perlu difahami dikarenakan oleh dua alasan penting:
       Pertama, dalam sistem Islam, walaupun pemilikan harta benda secara pribadi diizinkan, namun ia harus dipandang sebagai amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia sebagai wakil (khalifah) Allah hanya mempunyai hak untuk memilikinya dengan status amanat. Qur’an berkata:
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan dibumi” (QS. 2:84).
“Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi dan apa yang ada di dalamnya, kalau kamu semua tahu? Pasti mereka akan menjawab: Milik Allah. Katakanlah: Kalau demikian, maukah kamu semua berfikir?” (QS. 23:84-85).
“Dan berilah (bantulah) mereka dari kekayaan Allah yang telah diberikan Allah kepadamu”        (QS. 24:33).
          Kedua, karena manusia adalah wakil Allah di bumi, dan harta benda yang dimilikinya adalah amanat dari-Nya, maka manusia terikat oleh syarat-syarat amanat, atau lebih khusus lagi, oleh nilai-nilai moral Islam, terutama nilai-nilai halal dan haram, persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, dan menunjang kesejahteraan masyarakat umum. Harta benda haruslah dicari dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, dan harus dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang menjadi tujuan penciptaannya. Rasulullah saw bersabda:
“Harta benda memang hijau dan manis (mempesona); barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang halal, maka harta itu akan menjadi pembantunya yang sangat baik, sedangkan barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang tidak benar, maka ia akan seperti seseorang yang makan tapi tak pernah kenyang” (HR. Muslim, dalam Shahih-nya, 2:728). Wallahu a’lam bish-shawab.

D.    Pengaruh Ekonomi Islam pada Masyarakat Indonesia
            Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syari’ah ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp 22 triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (Data AASI 2006). Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan syariah. Para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia. Kedudukan Fatwa Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid. Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah. Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa.
          Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama. Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’. Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain. Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara. Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial.
         Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia. Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS. Kaedah dan Prinsip Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah. Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya. Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.

           Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas. Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Produk Fatwa DSN Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
        Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa. Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi. Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.





E.     Kedudukan Hukum Ekonomi Islam di Indonesia
           Seperti diketahui bersama, sejak didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 M/10 Ramadhan 1367 H, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Dasarnya menyatakan diri sebagai negara hukum. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen, pencantuman Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan: “Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).” “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum termaktub dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan kata “hukum” dalam kalimat “Negara Indonesia adalah negara hukum,” itu termasuk di dalamnya hukum tidak terulis ? Ilmu hukum memang mengajarkan kepada kita tentang keberadaan hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Tetapi dalam kenyataannya, hukum modern dewasa ini tampak lebih mengacu atau bahkan lebih berpihak kepada hukum terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar pengakuan apalagi keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis (uncodified law).
          Mengingat keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan dibandingkan dengan keberadaan hukum tidak tertulis, maka pendapat yang memandang cukup pengamalan hukum Islam dengan pendekatan kultural (tanpa harus dengan legal-formal), agaknya sudah kurang relevan untuk dipertahankan. Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang hukum tertentu semisal hukum ekonomi Islam yang tengah dibincangkan. Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal formal melalui legislasi nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut; juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan. Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah nusantara – apapun sebutan atau namanya ketika itu –, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai kini. Sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam dalam konteksnya yang sangat luas pernah berlaku dan paling tidak sebagian daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang ini.
          Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan lain-lain dalam bidang pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas di sejumlah daerah terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret bagi keberlakuakn atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara tempo dulu. Demikian pula dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab-mazhab fikih yang dikenal masyarakat.
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajaran bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani minoritas.” Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi Konvensional.
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi/keuangan Konvensional dengan lembaga ekonomi/keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonmi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keuangan non bank lainnya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum Islam secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi fungsi/peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam meopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional. Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat: “… Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.






BAB III 
Penutup

·        Kesimpulan
        Ekonomi Islam, menurut para pembangun dan pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai, oleh prinsip-prinsip relijius, berorientasi dunia dan akhirat. Dalam tataran paradigma seperti ini, para ekonom muslim masih dalam satu kata, atau setidaknya, tidak ada perbedaan yang berarti.2 Mayoritas para ekonom Muslim sepakat mengenai dasar pilar atau fondasi filosofis sistem ekonomi Islam: Tauhid, Khilafah, Ibadah, dan Takaful3, Khurshid Ahmad menambahkan: Rububiyyah dan Tazkiyah4, serta Mas- uliyyah (accountability). kritik yang cukup tajam terhadap para ekonom Islam yang selama ini selalu mengkritik sistem ekonomi lain. Pernyataan kritis tersebut:
Secara keseluruhan, ekonomi Islam lebih berhasil
menjelaskan apa yang bukan ekonomi Islam, daripada
menentukan apa yang membuat ekonomi Islam berbeda
sama sekali dengan sistem ekonomi lain. Ekonomi Islam
juga lebih banyak mengungkap kelemahan sistem lain
daripada menunjukkan (bahwa ekonomi Islam) secara
substansial memang lebih baik.9
       Menurut Muchtar Ahmad kajian ekonomi Islam selama ini dapat dikategorikan menjadi empat (4) corak.14 Pertama, kajian ekonomi Islam dalam lingkup normatif, dalam arti upaya menjelaskan dasardasar filosofis atau normatif suatu kajian ekonomi yang sesuai dengan tuntunan Islam, menurut ajaran baku dalam al-Qur'an dan hadis. Kedua, kajian ekonomi Islam hasil pemikiran atau penyelidikan para fukaha, pakar ekonomi, sosiolog, dan sebagainya seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Abu Yusuf, Umer Chapra dan sebagainya yang dilakukan secara kritis, baik melalui pemeriksaan teori dan tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap perilaku ekonomi muslim. Ketiga, kajian perbandingan antara perilaku ekonomi muslim dengan konsep sistem ekonomi Islam yang teoritis. Atau menghadapkan perilaku ekonomi muslim kepada nilai-nilai Islam. Dan keempat, kajian perbandingan antara konsep sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis serta perkembangan ekonomi kontemporer (gejala perkembangan sistem ekonomi dunia).





Daftar Pustaka

Asri, Zul. Dasar-Dasar Ekonomi. http://www.zulasri.worldpress.com. 11 Oktober 2010
Azzahra. Konsep Ekonomi Islam. http://www.lintasberita.com. 11 Oktober 2010
Azzahra, Mei. Mazhab Ekonomi Islam. http://www.mei-azzahra.com. 11 Oktober 2010
Hikmah, Arief. Ekonomi Islam. http://www.ariefhikmah.com. 11 Oktober 2010
                              . Islam dan Ekonomi. http://www.tripod.com. 11 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment