A.
Konsep Dasar Ekonomi Islam
Kehidupan orang-orang pra-Islam diwarnai
dengan tajamnya stratafikasi sosial dengan berbagai implikasi psikologis yang
menyertainya. Ada sejumlah kecil anggota masyarakat yang memiliki semua akses
kekuatan, ekonomi, politik, intelektual dan juga religiokultural. Berbagai sisi
kelebihan tersebut jalin-menjalin yang pada gilirannya menempatkan sekelompok
kecil orang tersebut pada posisi yang sangat penting dengan semua hak istimewa
yang dimilikinya. Sedangkan sejumlah besar lainnya berada pada
posisi yang sangat kontras. Mereka hampir tidak memiliki akses kekuatan apapun,
termasuk kemerdekaan pribadinya sebagai manusia, serta hak-hak perdatanya yang
sangat mendasar. Mereka adalah orang-orang miskin dan budak-budak belian yang
secara turun-temurun mewarisi kodrat
hidupnya
tanpa menyadari hak-hak dasarnya sebagai manusia. Nabi Muhammad lahir untuk
melakukan berbagai perubahan radikal dan meyeluruh, untuk mereformasi secara
total kehidupan
manusia
yang penuh dengan ketimpangan itu. Agama yang diajarkan membawa aspirasi dan
ide tentang tauhid, demokrasi (politik) dan keadilan sosial (ekonomi). Sesuai
dengan tingkat perkembangan pemikiran dan tahapan pertumbuhan sosial saat itu,
Nabi memberikan petunjuk-petunjuk operasional dan teladan-teladan nyata
melalu sunnah-nya. Sebagai suatu
cita (ideals) ajaran Islam telah sempurna disampaikan oleh Nabi kepada
umatnya (QS.5:4). Namun dalam konteks aplikasinya lebih lanjut; pokok-pokok
ajaran Islam tersebut memerlukan langkah-langkah sistematisasi dan
interpretasiinterpretasi baru guna menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kehidupan
umat manusia dan aspirasi-aspirasinya yang kian meningkat, sesuai dengan
perkembangan manusia itu sendiri. Meminjam pernyataan Goldziher bahwa kebenaran
Islam yang ada sekarang ini belumlah bulat. Kebulatannya masih menunggu
karyakarya para generasi umat Islam lebih lanjut. 50 , Vol. IV,
No. 1, Juni 2007 Teks-teks keagamaan (al-Nushush al-Syar’iyyah)
memuat banyak sekali pesan yang berkaitan dengan bidang kehidupan perekonomian,
baik secara eksplisit (sharih) maupun implisit (ghairu sharih).
Hanya saja secara keseluruhan aksentuasi dari nash-nash tersebut
lebih pada ajaran-ajaran atau pesan-pesan moral universalnya, sesuai dengan
semangat dasar al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral yang menekankan pada
ide-ide keadilan sosial dan ekonomi. Misalnya pandangan Islam tentang dunia
kerja, prinsip kebebasan dan kejujuran dalam berusaha, produktifitas kerja, dan
sebagainya. Serta pandangan dunia (weltanschaung) Islam yang secara
keseluruhan berhubungan erat dengan konsep teologi dan
eskatologi.
Diantara ajaran-ajaran pokok tersebut misalnya adalah bahwa posisi manusia di
bumi ini adalah sebagai khalifah Tuhan (al- Baqarah:30) dengan membawa amanat-Nya
(al-Ahzab:72) untuk
menciptakan
kemakmuran dan kesajahteraan (Hud:61). Manusia tidak boleh takut kepada alam.
Karena alam ini justru diciptakan untuk “melayani” kepentingan mereka
(al-Baqarah:29 ; al Jatsiyah:13). Mereka tidak boleh duduk pasif, tetapi mereka
harus aktif berusaha dan bekerja (al-Jum’ah: 10 ; al-Ra’du:13). Mereka harus
mencari bagian rizki yang halal. Dalam berusaha mereka harus mengindahkan nilai
kejujuran (al-A’raf:85); atas dasar suka rela tanpa paksaan (al-Nisa:29) dalam
bidang-bidang yang dibolehkan syariat dan bukan yang bathil (al-Maidah:3).
Meskipun
mereka bebas mendapatkan dan memiliki setiap hasil jerih-payahnya, namun mereka
juga harus memperhatikan fungsi sosial harta hasil usahanya itu demi kebaikan
orang-orang yang nasibnya kurang beruntung (al-Hasyr:7 ; al-Taubah:34 ;
al-Rum:30). Mereka juga harus hemat dan efesien dalam membelanjakan hartanya (al-Isra:26
; al-Furqan:67) dan sebagainya. Terhadap pesan-pesan al-Qur’an tersebut dan
juga yang ada dalam hadits atau sunnah rasul, perlu ada interpretasi dan konseptualisasi
ke dalam bentuk ajaran yang sistematis sehingga akan lebih mudah untuk
dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh siapa saja. Dengan demikian
ajaran-ajaran luhur tersebut tidak lagi hanya merupakan himbauan moral tapi
menjadi suatu sistem tatanan hidup yang dihayati sebagai way of life dan
rule of game yang dipatuhi. Dengan cara itulah ajaran agama akan
benar-benar membawa dampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan manusia, lahir
dan bathin.
·
Sejarah Singkat
Ekonomi Islam
Ekonomi Islam, menurut para pembangun dan
pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai, oleh prinsip-prinsip relijius,
berorientasi dunia dan akhirat. Dalam tataran paradigma seperti ini, para
ekonom muslim masih dalam satu kata, atau setidaknya, tidak ada perbedaan yang
berarti.2 Mayoritas para ekonom Muslim sepakat mengenai dasar pilar atau
fondasi filosofis sistem ekonomi Islam: Tauhid, Khilafah, Ibadah, dan Takaful3,
Khurshid Ahmad menambahkan: Rububiyyah dan Tazkiyah4, serta Mas-
uliyyah (accountability) . Namun ketika dipertanyakan lebih lanjut: apa
dan bagaimana ekonomi Islam itu? Di sinilah terjadi perbedaan, sehingga ada
yang membagi mazhab ekonomi Islam itu menjadi tiga yaitu; mazhab Baqir al-Sadr,
mazhab mainstream, dan mazhab alternatif-kritis6. Namun sayang pengembangan
pemikiran ketiga mazhab ini belum begitu gencar, kecuali mazhab mainstream, dan
nampaknya masih menunggu pemikiran cerdas dan kreatif dari para pendukungnya
untuk mengembangkan. Namun demikian Ekonomi Islam tidak lepas dari terpaan
kritik yang dilakukan oleh sejumlah ekonom. Pada umumnya kritikan tersebut
dikelompokkan oleh Arif, seperti yang dikutip oleh M.Husein Sawit, menjadi tiga
kelompok besar. Pertama, aliran yang mengatakan Ekonomi Islam merupakan
penyesuaian sistem kapitalis atau disebut "the Adjusted Capitalism
School". Kedua, disebut dengan kelompok konvensional atau
"the Conventional School. kelompok perbedaan paham atau "the
Sectarian Diversity School"7. Ada juga pernyataan kritis yang
sepintas nampak sederhana namun cukup mendasar: apakah ekonomi Islam
merupakan kapitalisme minus riba atau sosialisme plus Islam? Kemudian
ada lagi kritik yang cukup tajam terhadap para ekonom Islam yang selama
ini selalu mengkritik sistem ekonomi lain. Pernyataan kritis tersebut:
Secara
keseluruhan, ekonomi Islam lebih berhasil
menjelaskan
apa yang bukan ekonomi Islam, daripada
menentukan
apa yang membuat ekonomi Islam berbeda
sama
sekali dengan sistem ekonomi lain. Ekonomi Islam
juga
lebih banyak mengungkap kelemahan sistem lain
daripada
menunjukkan (bahwa ekonomi Islam) secara
substansial
memang lebih baik.9
Semua
kritik yang diajukan kepada Ekonomi Islam tersebut menuntut para pendukungnya
untuk memberikan jawaban serius. Ada tiga penafsiran tentang istilah “ekonomi
Islam”. Pertama, yang dimaksud adalah “ilmu ekonomi” yang berdasarkan
nilai-nilai atau ajaran Islam. Kalau ini yang dimaksud, maka akan timbul kesan bahwa
ajaran Islam itu mempunyai pengertian yang tersendiri mengenai apa itu
“ekonomi”. Hal ini tentu akan diikuti dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud
dengan ekonomi itu menurut ajaran Islam? Tepatnya, apakah yang dimaksud dengan
“ilmu ekonomi Islam” itu? Disini bisa diajukan beberapa definisi menurut ekonom
muslim.
Menurut
Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalahmasalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai
Islam”. Menurut M.M. Metwally, “Ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari
perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al
Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas”. Menurut Hasanuzzaman,”Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan
dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam
memperoleh sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan
memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat”. Menurut Akram Khan, “Ilmu ekonomi
Islam bertujuan untuk melakukan studi terhadap kesejahteraan (falah)
manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber-sumber daya di bumi
berdasarkan kerjasama dan partisipasi”. Menurut Umar
Chapra,”Ekonomi Islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan
distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqashid
(tujuan-tujuan syariah), tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan
ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau
melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral
masyarakat”. Dawam Rahardjo berkesimpulan bahwa ilmu ekonomi Islam
sebenarnya
sama saja dengan ilmu ekonomi umumnya, yaitu menyelidiki perilaku manusia dalam
kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi yang menyangkut pilihan terhadap
sumberdaya yang
sifatnya
langka dan alokasi sumberdaya tersebut guna memenuhi kebutuhan manusia. Dalam
Islam, tujuan kegiatan ekonomi hanyalah merupakan target untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi, yaitu kebahagian hidup di dunia maupun di akhirat, dengan
melakukan ibadah kepada Allah. Ilmu ekonomi Islam memperhatikan dan menerapkan
syariah dalam perilaku ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi. Penafsiran
kedua, ekonomi Islam itu dalam artian "sistem ekonomi"
(Islam). Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam
suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara metode tertentu. Misalnya,
bank Islam dapat disebut
sebagai
unit (terbatas) dari beroperasinya suatu sistem ekonomi Islam, bisa dalam ruang
lingkup makro atau mikro. Bank Islam disebut unit sistem ekonomi Islam,
khususnya doktrin larangan riba.
Dan ketiga,
ekonomi Islam itu berarti perekonomian umat Islam atau perekonomian di
dunia Islam, maka kita akan mendapat sedikit penjelasan dan gambaran dalam
sejarah umat umat Islam baik pada masa Nabi sampai sekarang. Hal ini bisa kita
temukan, misalnya, bagaimana keadaan perekonomian umat Islam di Arab Saudi,
Mesir, Irak, Iran, Indonesia, dan sebagainya, atau juga perekonomian umat Islam
di negara non-Islam seperti Amerika, Cina, Perancis, dan sebagainya.10 Kosa
kata “ekonomi” merupakan kosa kata yang baru, dalam arti tidak dikenal pada
masa awal Islam. Pada masa ini hanya mengenal istilah muamalah dalam arti luas,
hubungan antar manusia secara umum: ekonomi, rumah tangga dan lain-lain. 10Tentang
tiga pengertian ekonomi Islam tersebut: ilmu ekonomi, sistem ekonomi, dan
perekonomian umat Islam. Istilah "iqtishad" (bahasa Arab) yang
diartikan atau disepadankan dengan "ekonomi" merupakan kosa
kata yang baru. Sehingga kita tidak menemukan pada literatur keislaman
klasik, fikih.11 Kalau kita telusuri istilah "iqtishad" muncul
dari perkembangan pemikiran Muhammad Iqbal (1876-1938) salah seorang
tokoh pembaruan Islam dari India. Pada tahun 1902 Iqbal menerbitkan buku
yang berjudul "'Ilm al-Iqtishad" (ilmu ekonomi).12 Pemikiran
tentang ekonomi Islam sebagai kajian teoritis baru mulai ramai
dibicarakan pada awal dasawarsa 1970-an, walaupun pembahasan yang
bersifat fikih sudah tampak sebelumnya sebagai bagian dari pemikiran
hukum Islam. Dalam rangka itu, pembahasan tentang bunga bank yang
dikaitkan dengan konsep riba merupakan bagian yang penting dan selalu
disebutkan. Oleh karena itu, gagasan mengenai bank Islam berkembang
terlebih dahulu dalam upaya menerapkan prinsip ekonomi Islam.
Dan
tampaknya pemikiran ekonomi Islam, di Indonesia khususnya, belum
bergerak jauh dari tema
perbankan
(lembaga keuangan lainnya). Dengan demikian pemikiran ekonomi Islam masih
menunggu karya kreatif, ijtihad, para pendukungnya untuk mengembangkannya.
·
Kajian
Pendekatan Ekonomi Islam Kontemporer
Menurut Prof. Volker Nienhaus,13 dari
Jerman, dalam tulisannya “Islamic Economics: Policy Between Pragmatism and
Utopia”, ada empat pendekatan utama dalam kajian mengenai ekonomi Islam selama
ini. Pertama, pragmatis; kecenderungan ini ditandai dengan penolakan
ideologi-ideologi ekonomi yang diikuti dengan upaya melakukan sintesis atau
ekleksi, yaitu mencampur berbagai gagasan dan teori yang dianggap paling
praktis untuk dilaksanakan. Menurut Nienhaus kecenderungan inilah yang banyak
diambil. Kedua, resitatif; pendekatan yang mengacu pada teks ajaran
Islam, pendekatan ini mengacu pada hukum fikih, teologi, etika ekonomi. Ketiga,
pendekatan utopian. Utopia adalah gambaran mengenai dunia yang kita
inginkan. Pendekatan ini dikembangkan dengan merumuskan model manusia, misalnya
homo economicus, atau manusia altruistis. Pendekatan yang terakhir,
keempat, adaptif; berusaha melakukan penyesuaian diri berdasarkan
kondisi setempat dan sejarah masing-masing umat Islam, seperti gagasan
sosialisme Islam; sosialisme kerakyatan; sosialisme demokrasi.
Menurut Muchtar Ahmad kajian ekonomi
Islam selama ini dapat dikategorikan menjadi empat (4) corak.14 Pertama,
kajian ekonomi Islam dalam lingkup normatif, dalam arti upaya menjelaskan
dasardasar filosofis atau normatif suatu kajian ekonomi yang sesuai dengan tuntunan
Islam, menurut ajaran baku dalam al-Qur'an dan hadis. Kedua, kajian
ekonomi Islam hasil pemikiran atau penyelidikan para fukaha, pakar ekonomi,
sosiolog, dan sebagainya seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Abu Yusuf, Umer Chapra
dan sebagainya yang dilakukan secara kritis, baik melalui pemeriksaan teori dan
tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap perilaku ekonomi
muslim. Ketiga, kajian perbandingan antara perilaku ekonomi muslim
dengan konsep sistem ekonomi Islam yang teoritis. Atau menghadapkan perilaku
ekonomi muslim kepada nilai-nilai Islam. Dan keempat, kajian
perbandingan antara konsep sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis
dan sosialis serta perkembangan ekonomi kontemporer (gejala perkembangan sistem
ekonomi dunia). Juga bisa ditambahkan disini perbandingan pemikiran
antar para ekonom Islam itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh Mohamed
Aslam Haneef (1995) dalam bukunya "Contemporary Islamic Economic
Thought: A Selected Comparative Analysis".
B.
Mazhab dalam Ekonomi
Islam
Seperti dapat difahami dari sisinya
yang manapun, ekonomi dan ilmu ekonomi termasuk ekonomi Islam memiliki
jangkauan atau ruang-lingkup yang sangat luas. Ekonomi Syariah, tidak
semata-mata berhubungan dengan ihwal bahan baku, produksi, distribusi,
pemasaran dan konsumsi seperti yang sering menjadi pembahasan utama ilmu
ekonomi, akan tetapi ekonomi juga berhubungan dengan dunia kerja dan dunia
usaha. Demikian pula halnya dengan lembaga-lembaga keuangan baik dalam bentuk
bank maupun non bank. Dunia kerja dan dunia usaha kita terutama yang
berhubungan dengan sektor riil dewasa ini terkesan sedemikian sempit. Dunia
kerja dan usaha seolah-olah identik benar dengan dunia perdagangan (tijarah)
dan industri-industri tertentu dengan buruh sebagai andalan utamanya; sementara
sektor-sektor yang lain semisal kehutanan, pertanian, kelautan, transportasi
dan lain-lain, belum digarap secara memadai apatah lagi profesional. Demikian
pula dengan dunia keuangan yang seakan-akan identik benar dengan perbankan dan
beberapa lembaga keuangan non bank khususnya asuransi. Sementara dalam
bidang-bidang yang lain semisal pegadaian, tampak belum tertangani sebagaimana
mestinya. Belum lagi mengamati kecenderungan pasar yang terkesan lebih
berorientasi ke wilayah-wilayah perkotaan — atau tepatnya kota-kota besar
dengan kurang peduli untuk tidak mengatakan mengabaikan pengembangan pasar yang
sejatinya juga mengarah ke daerah-daerah pedesaan. Padahal, di antara prinsip
ekonomi dan keuangan yang telah dan hendak terus dibangun oleh Islam/Syariah
ialah prinsip keadilan dan pemerataan. Tanpa penerapan kedua prisnip ini,
keadilan yang merata dan atau pemerataan yang berkeadilan, sistem ekonomi Islam
tidak akan ada bedanya dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Dalam pada itu,
upaya memperluas konsep dan wawasan ekonomi Islam/Syariah sebagaimana
disinggung di atas, pada gilirannya menuntut pula pengembangan konsep hukum
Islam tentang ekonomi dan keuangan. Hukum ekonomi dan keuangan Islam di
Indonesia dewasa ini dapat dikatakan masih sangat terbatas. Bukan semata-mata
terbatas dalam bidang/jenis ekonomi dan keuangan tertentu yang telah diaturnya;
melainkan juga sangat terbatas dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Sebagai ilustrasi, dari 22 bidang hukum ekonomi/keuangan yang
termuat dalam kitab Bulugh al-Maram sebagaimana dituliskan sebelum ini, baru
sebagian kecil saja yang tercover dalam peraturan perundang-undangan. Bagian
terbesar daripadanya, sama sekali belum tertuangkan ke dalam legislasi, bahkan
sebagai bagian dari ilmu ekonomi sekalipun masih belum tersosialisasikan ke
tengah-tengah masyarakat luas. Kajian tentang ayat-ayat dan hadis-hadis hukum
ekonomi di lembaga-lembaga tinggi, jelas masih terlalu jauh dari yang
seharusnya, apalagi dari yang dicita-citakan. Selain terbatas tenaga ahlinya,
juga sangat terbatas porsi waktu dan lain-lain yang disediakan untuk itu.
Padahal, penurunan norma-norma hukum dan terutama nilai-nilai ekonomi Islam ke
dalam hukum yang hidup di masyarakat apalagi dalam bentuk legislasi nasional,
kini benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat hukum Indoneia. Minimnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah ini,
menurut pengamatan pemakalah yang boleh jadi keliru, bukan disebabkan minimnya
norma-norma hukum Islam yang dapat dikaji dan digali dari berbagai literatur
yang tersedia; melainkan lebih disebabkan faktor-faktor lain di luar hukum
Islam sebagai bahan bakunya. Kalau terpaksa juga harus disebutkan, maka di
antara faktor penyebabnya ialah karena kemauan politik (political well) yang
belum sepenuhnya mengayomi di samping keterbatasan dana yang dialokasikan untuk
itu.
Guna mempercepat proses legislasi
nasional di bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah, maka mutlak diperlukan
dukungan dana yang memadai di samping kemauan politik yang mengayomi. Tanpa
kemauan politik yang mengayomi dan dukungan dana yang memadai, legislasi
nasional di bidang ekonomi Syariah belum tentu lebih baik dari
legislasi-legislasi nasional di bidang-bidang yang lain. Apalagi legislasi
nasional yang berhubungan dengan dunia Syariah. Padahal, secara ideologis
maupun konstitusi, hukum Islam (syariah) dalam konstelasi tata hukum Indonesia
memiliki kedudukan yang sangat kuat dan memainkan peranan (fungsi) yang sangat
penting. Di sinilah terletak arti penting dari keberadaan dan peran aktif Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, terutama dalam kapasitasnya sebagai salah satu badan yang fungsi
utamanya laksana “dapur negara/pemerintah” untuk “memasak dan menyajikan” menu
dalam kaitan ini hukum di Negara Hukum Indonesia (NHI). Hanya saja, dapur
memang tidak mungkin “ngepul” tanpa ada dana yang sangat diperlukan untuk
“membeli” bahan-bahan baku (penggalian dan penormaan hukum) yang hendak dimasak
dan disajikan kepada masyarakat hukum. Guna memperlancar legislasi nasional
hukum ekonomi Islam, agaknya mutahil bisa tanpa melibatkan pihak-pihak lain
khususnya lembaga-lembaga pendidikan dalam kaitan ini lembaga pendidikan tinggi
khususnya fakultas Hukum, fakultas Syariah dan atau fakultas Syariah dan Hukum
yang tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS).
Tentu dengan merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Dengan disahkanya Undang-Undang No 3
tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka
wewenang mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga
Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum, jika
tidak diselesaikan di lembaga arbitrase. Pada pasal 49 point i UU No 3/2006
disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang
–orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain
meliputi :
a. Bank syariah,
b.Lembaga keuangan mikro
syari’ah,
c. asuransi syari’ah,
d. reasurasi syari’ah,
e. reksadana syari’ah,
f. obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. Pembiayaan syari’ah,
i. Pegadaian syari’ah,
j. dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah dan
k. bisnis syari’ah
Yang menjadi masalah dalam hal ini
adalah bahwa rujukan para hakim dalam memutuskan perkara ekonomi syariah belum
tersedia dalam bentuk Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana yang terdapat
pada hukum perkawinan, warisan, waqaf , washiat dan hibah. KHI dalam bidang-bidang
ini telah dikeluarkan melalui Inpres No 1/1991.Urgensi pembentukan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah juga dikarenakan hukum fiqh tentang aspek muamalah ini
sangat beragam, apalagi persoalan muamalah ini adalah persoalan yang lebih
terbuka bagi ijttihad, dibanding masalah ibadah. Oleh karena itu diperlukan
kepastian hukum, sehingga keputusan para hakim di berbagai pengadilan tidak
berbeda-beda dalam kasus yang sama.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) sangatlah
tidak memadai untuk dijadikan rujukan dalam memutus perkara ekonomi syariah,
karena peraturan yang dikeluarkanya hanya berkaitan dengan masalah perbankan,
sedangkan masalah hukum ekonomi syariah lainnya tidak diatur, karena bukan
wewenangnya. Demikian pula fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional yang telah
berjumlah 54 fatwa. Selain kedudukakannya secara konstitusisonal tidak kuat
dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, fatwa tersebut juga
masih sangat ringkas, karena hanya berupa intisari (matan) yang membutuhkan
penjelasan rinci. Namun demikian, baik PBI maupun fatwa DSN bisa dijadikan
sebagai salah satu materi penyusunan draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Materi
penyusunan KHI juga dapat merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang
pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani. yang disebut dengan
Al-Majjalah Al-Adliyah Al-Ahkam yang terdiri dari 1851 Pasal. KUH Perdata Islam
ini dapat dikembangkan dan diperluas materi dan bahasannya disesuaikan dengan
perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini Indonesia seyogianya
membuat Kitab-Undang-Undang dalam bentuk Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam
sebagaimana yang dilakukan Turki Usmani. Namun upaya tersebut saat ini,
tampaknya masih sulit diwujudkan karena prosesnya panjang, baik di dalam
persiapan materi, apalagi pembahasan di lembaga legislatif. Oleh karena itu,
kita akan merumuskan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam yang dapat dikeluarkan
melalui inpres atau kepres. Di masa depan, kedudukan Kompilasi ini seharusnya
ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP), sehingga secara hirarkis
kedudukannya satu tingkat di bawah Undang-Undang.
Upaya penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah ini dapat terwujud melalui peran penting pemerintah, sebagaimana telah
diterapkan pada penyusunan Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini (Inpres
No 1/1991). Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia, Departemen Hukum dan HAM
melalui BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) bekerjasama dengan Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, membentuk Tim penyusunan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. BPHN dan UIN Jakarta bersinergi dengan Ikatan
Ahli Ekonomi Islam (IAEI) yang merupakan ara dosen Pascasarjana UI. Upaya ini
mendesak dilakukan mengingat praktek ekonomi syariah telah dilaksanakan oleh
masyarakat muslim Indonesia dalam bentuk perbankan syariah, asuransi syariah,
pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi sariah, pegadaian syariah,
lembaga keuangan mikro syariah dan sejumlah perusahaan sektor riil syariah.
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah atau Hukum Perdata Islam, menggunakan ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh dan
falsahah Hukum Islam, Disiplin ushul fiqh ini adalah metodologi yurispridensi
Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Maqashid syariah perlu menjadi
landasan perumusan hukum ekonomi Islam tsb. Metode istihsan, urf, sadd zariah,
dan pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian,
diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta
keadilan masyarakat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan
sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia khususnya
dalam bidang ekonomi syariah.. Bentuk ijtihad yang digunakan adalah ijtihad
jama’iy yaitu berijtihad secara kolektif, di mana para ulama, pakar dan
praktisi ekonomi syariah merumuskan dan menyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Islam
tersebut secara bersama-sama, sehingga kekuatan hukumnya jauh lebih kuat dan
akurat..
C.
Fungsi
Mazhab dalam Ekonomi
Tujuan-tujuan sistem ekonomi Islam
menunjukkan bahwa kesejahteraan material yang berdasarkan nilai-nilai spiritual
yang kokoh merupakan dasar yang sangat perlu dari filsafat ekonomi Islam.
Karena dasar sistem Islam sendiri berbeda dari sosialisme dan kapitalisme, yang
keduanya terikat pada keduniaan dan tak berorientasi pada nilai-nilai
spiritual, maka suprastrukturnya juga mesti berbeda. Usaha apapun untuk
memperlihatkan persamaan Islam dengan kapitalisme atau sosialisme hanyalah akan
memperlihatkan kekurang-pengertian tentang ciri-ciri dasar dari ketiga sistem
tersebut. Disamping itu, sistem Islam betul-betul diabdikan kepada persaudaraan
umat manusia yang disertai keadilan ekonomi dan sosial serta distribusi
pendapatan yang adil, dan kepada kemerdekaan individu dalam konteks
kesejahteraan sosial. Dan perlu dinyatakan disini, bahwa pengabdian ini
berorientasi spiritual dan terjalin erat dengan keseluruhan jalinan nilai-nilai
ekonomi dan sosialnya. Berlawanan dengan ini, orientasi kapitalisme modern pada
keadilan ekonomi dan sosial dan distribusi pendapatan yang adil hanyalah bersifat
parsial saja, dan merupakan akibat desakan-desakan kelompok masyarakat,
bukannya merupakan dorongan dari tujuan spiritual untuk menciptakan
persaudaraan umat manusia, dan tidak merupakan bagian integral dari keseluruhan
filsafatnya. Sedang orientasi sosialisme, walaupun dinyatakan sebagai hasil
dari filsafat dasarnya, tidaklah benar-benar berarti, karena tiadanya
pengabdian kepada cita persaudaraan umat manusia dan kriteria keadilan dan
persamaan yang adil berdasarkan spiritual di satu pihak, dan di pihak lain
karena hilangnya kehormatan dan identitas individu yang disebabkan karena tidak
diakuinya kemerdekaan individu, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
Komitmen Islam terhadap kemerdekaan
individu dengan jelas membedakannya dari sosialisme atau sistem apapun yang
menghapuskan kebebasan individu. Saling rela tak terpaksa antara penjual dan
pembeli, menurut semua ahli hukum Islam, adalah merupakan syarat sahnya
transaksi dagang. Persaratan ini bersumber dari ayat Al-Qur’an: “Wahai orang-orang
beriman! Janganlah kamu memakan harta salah seorang diantaramu dengan jalan
yang tidak benar; dapatkanlah harta dengan melalui jual beli dan saling
merelakan” (QS. 4:29). Satu-satunya sistem yang sesuai dengan semangat
kebebasan dalam way of life Islam ini adalah sistem dimana pelaksanaan sebagian
besar proses produksi dan distribusi barang-barang serta jasa diserahkan kepada
individu-individu atau kelompok-kelompok yang dibentuk dengan sukarela, dan
dimana setiap orang diijinkan untuk menjual kepada, dan membeli dari siapapun
yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Kebebasan berusaha, berlawanan dengan sosialisme, memberikan kemungkinan untuk
hal itu dan diakui oleh Islam bersama-sama dengan unsur-unsur yang mendampinginya,
yaitu pelembagaan hak milik pribadi.
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan literatur
fiqh penuh dengan pembahasan yang terperinci tentang norma-norma yang
menyangkut pencarian dan pembelanjaan harta benda pribadi dan perdagangan, dan
jual beli barang-barang dagangan, disamping pelembagaan zakat dan warisan. Yang
pasti tidak akan dibahas dengan demikian terperinci seandainya pelembagaan hak
milik pribadi atas sebagian besar sumber-sumber daya yang produktif tidak
diakui oleh Islam. Karena itu, peniadaan hak milik pribadi ini tidak dapat
dipandang sesuai dengan ajaran Islam. Mekanisme pasar juga dapat dipandang
sebagai bagian integral dari sistem ekonomi Islam, karena di satu pihak
pelembagaan hak milik pribadi tidak akan dapat berfungsi tanpa pasar. Dan dilain
pihak, pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen untuk mengungkapkan
keinginannya terhadap produk barang atau jasa yang mereka senangi diiringi
kesediaan mereka untuk membayar harganya, dan juga memberikan kepada para
pemilik sumber daya (produsen) kesempatan untuk menjual produk barang atau
jasanya sesuai dengan keinginan bebas mereka. Motif mencari keuntungan, yang
mendasari keberhasilan pelaksanaan sistem yang dijiwai kebebasan berusaha, juga
diakui oleh Islam. Hal ini dikarenakan keuntungan memberikan insentif yang
perlu bagi efisiensi pemakaian sumberdaya yang telah dianugerahkan Allah kepada
umat manusia.
Efisiensi dalam alokasi sumber daya ini
merupakan unsur yang perlu dalam kehidupan masyarakat yang sehat dan dinamis.
Tetapi karena adalah mungkin untuk menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama,
dan dengan demikian membawa kepada berbagai penyakit ekonomi dan sosial, maka
Islam menempatkan pembatasan-pembatasan moral tertentu atas motif mencari
keuntungan, sehingga motif tersebut menunjang kepentingan individu dalam
konteks sosial dan tidak melanggar tujuan-tujuan Islam dalam keadilan ekonomi
dan sosial serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil. Pengakuan Islam
atas kebebasan berusaha bersama dengan pelembagaan hak milik pribadi dan motif
mencari keuntungan, tidaklah menjadikan sistem Islam mirip dengan kapitalisme
yang berdasarkan kebebasan berusaha. Perbedaan antara kedua hal itu perlu
difahami dikarenakan oleh dua alasan penting:
Pertama, dalam sistem Islam, walaupun
pemilikan harta benda secara pribadi diizinkan, namun ia harus dipandang
sebagai amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi
sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia sebagai wakil (khalifah) Allah hanya
mempunyai hak untuk memilikinya dengan status amanat. Qur’an berkata:
“Kepunyaan Allah-lah segala yang
ada di langit dan dibumi” (QS. 2:84).
“Katakanlah: Kepunyaan siapakah
bumi dan apa yang ada di dalamnya, kalau kamu semua tahu? Pasti mereka akan
menjawab: Milik Allah. Katakanlah: Kalau demikian, maukah kamu semua berfikir?”
(QS. 23:84-85).
“Dan berilah (bantulah) mereka
dari kekayaan Allah yang telah diberikan Allah kepadamu” (QS. 24:33).
Kedua, karena manusia adalah wakil
Allah di bumi, dan harta benda yang dimilikinya adalah amanat dari-Nya, maka
manusia terikat oleh syarat-syarat amanat, atau lebih khusus lagi, oleh
nilai-nilai moral Islam, terutama nilai-nilai halal dan haram, persaudaraan,
keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, dan
menunjang kesejahteraan masyarakat umum. Harta benda haruslah dicari dengan
cara-cara yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, dan harus dipergunakan untuk
tujuan-tujuan yang menjadi tujuan penciptaannya. Rasulullah saw bersabda:
“Harta benda memang hijau dan
manis (mempesona); barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang halal, maka
harta itu akan menjadi pembantunya yang sangat baik, sedangkan barangsiapa yang
mencarinya dengan cara yang tidak benar, maka ia akan seperti seseorang yang
makan tapi tak pernah kenyang” (HR. Muslim, dalam Shahih-nya, 2:728). Wallahu
a’lam bish-shawab.
D.
Pengaruh
Ekonomi Islam pada Masyarakat Indonesia
Perkembangan ekonomi syari’ah di
Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika
pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka
tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi
enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syari’ah
ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp 22
triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi
Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi
syariah (Data AASI 2006). Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat
mengimbangi asuransi dan perbankan syariah. Para praktisi ekonomi syari’ah,
masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari
lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga
keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian
cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat,
agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk
itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian
dari Majlis Ulama Indonesia. Kedudukan Fatwa Fatwa merupakan salah satu
institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap
problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa
sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di
kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi
Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi
orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid. Kehadiran fatwa-fatwa ini
menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah
ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi
syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara
teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah.
(fiqh ekonomi)
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah. Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa.
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah. Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa.
Maka teori fatwa hanya mengikat
mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi
syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi
syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu
kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR
baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang
secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan
Agama. Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui
proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut
ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi
(individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy
telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini,
pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’. Fatwa
dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak
mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang
meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif
yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama
atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain. Jika ada lebih dari
satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang
lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara
batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan
(qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang
berperkara. Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di
zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang
cendrung individual atau lembaga parsial.
Otoritas fatwa tentang ekonomi
syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama
Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli
ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas
masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan
Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia. Fatwa dengan definisi
klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang
melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa
MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang
dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya
Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi
rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia,
khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi
lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula
mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS. Kaedah dan Prinsip Fiqh
muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena
bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat.
Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di
masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah. Pertama,
Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara
warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang
telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim (
Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya). Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama
muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau
ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan
praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah
menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Formulasi fatwa juga berpegang pada
prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat
untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip
yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada
mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara
lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga
syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis)
tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu
untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah
(pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi
fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan
pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Produk Fatwa DSN Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa. Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi. Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.
Produk Fatwa DSN Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa. Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi. Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.
E.
Kedudukan
Hukum Ekonomi Islam di Indonesia
Seperti diketahui bersama, sejak
didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 M/10 Ramadhan 1367 H, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Dasarnya menyatakan diri
sebagai negara hukum. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen, pencantuman
Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang
menyatakan: “Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).”
“Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (machtsstaat). Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum
termaktub dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: “Negara Indonesia
adalah negara hukum.” Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan
kata “hukum” dalam kalimat “Negara Indonesia adalah negara hukum,” itu termasuk
di dalamnya hukum tidak terulis ? Ilmu hukum memang mengajarkan kepada kita
tentang keberadaan hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Tetapi dalam
kenyataannya, hukum modern dewasa ini tampak lebih mengacu atau bahkan lebih
berpihak kepada hukum terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar
pengakuan apalagi keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis
(uncodified law).
Mengingat keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan dibandingkan dengan keberadaan hukum tidak tertulis, maka pendapat yang memandang cukup pengamalan hukum Islam dengan pendekatan kultural (tanpa harus dengan legal-formal), agaknya sudah kurang relevan untuk dipertahankan. Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang hukum tertentu semisal hukum ekonomi Islam yang tengah dibincangkan. Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal formal melalui legislasi nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut; juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan. Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah nusantara – apapun sebutan atau namanya ketika itu –, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai kini. Sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam dalam konteksnya yang sangat luas pernah berlaku dan paling tidak sebagian daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang ini.
Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan lain-lain dalam bidang pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas di sejumlah daerah terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret bagi keberlakuakn atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara tempo dulu. Demikian pula dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab-mazhab fikih yang dikenal masyarakat.
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajaran bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani minoritas.” Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi Konvensional.
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi/keuangan Konvensional dengan lembaga ekonomi/keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonmi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keuangan non bank lainnya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum Islam secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi fungsi/peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam meopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional. Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat: “… Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.
Mengingat keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan dibandingkan dengan keberadaan hukum tidak tertulis, maka pendapat yang memandang cukup pengamalan hukum Islam dengan pendekatan kultural (tanpa harus dengan legal-formal), agaknya sudah kurang relevan untuk dipertahankan. Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang hukum tertentu semisal hukum ekonomi Islam yang tengah dibincangkan. Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal formal melalui legislasi nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut; juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan. Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah nusantara – apapun sebutan atau namanya ketika itu –, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai kini. Sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam dalam konteksnya yang sangat luas pernah berlaku dan paling tidak sebagian daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang ini.
Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan lain-lain dalam bidang pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas di sejumlah daerah terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret bagi keberlakuakn atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara tempo dulu. Demikian pula dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab-mazhab fikih yang dikenal masyarakat.
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajaran bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani minoritas.” Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi Konvensional.
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi/keuangan Konvensional dengan lembaga ekonomi/keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonmi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keuangan non bank lainnya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum Islam secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi fungsi/peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam meopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional. Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat: “… Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.
BAB III
Penutup
·
Kesimpulan
Ekonomi Islam, menurut para pembangun
dan pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai, oleh
prinsip-prinsip relijius, berorientasi dunia dan akhirat. Dalam tataran
paradigma seperti ini, para ekonom muslim masih dalam satu kata, atau setidaknya,
tidak ada perbedaan yang berarti.2 Mayoritas para ekonom Muslim sepakat
mengenai dasar pilar atau fondasi filosofis sistem ekonomi Islam: Tauhid,
Khilafah, Ibadah, dan Takaful3, Khurshid Ahmad menambahkan: Rububiyyah
dan Tazkiyah4, serta Mas- uliyyah (accountability). kritik
yang cukup tajam terhadap para ekonom Islam yang selama ini selalu mengkritik
sistem ekonomi lain. Pernyataan kritis tersebut:
Secara
keseluruhan, ekonomi Islam lebih berhasil
menjelaskan
apa yang bukan ekonomi Islam, daripada
menentukan
apa yang membuat ekonomi Islam berbeda
sama
sekali dengan sistem ekonomi lain. Ekonomi Islam
juga
lebih banyak mengungkap kelemahan sistem lain
daripada
menunjukkan (bahwa ekonomi Islam) secara
substansial
memang lebih baik.9
Menurut Muchtar Ahmad kajian ekonomi
Islam selama ini dapat dikategorikan menjadi empat (4) corak.14 Pertama,
kajian ekonomi Islam dalam lingkup normatif, dalam arti upaya menjelaskan
dasardasar filosofis atau normatif suatu kajian ekonomi yang sesuai dengan tuntunan
Islam, menurut ajaran baku dalam al-Qur'an dan hadis. Kedua, kajian
ekonomi Islam hasil pemikiran atau penyelidikan para fukaha, pakar ekonomi,
sosiolog, dan sebagainya seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Abu Yusuf, Umer
Chapra dan sebagainya yang dilakukan secara kritis, baik melalui pemeriksaan
teori dan tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap perilaku ekonomi
muslim. Ketiga, kajian perbandingan antara perilaku ekonomi muslim
dengan konsep sistem ekonomi Islam yang teoritis. Atau menghadapkan perilaku
ekonomi muslim kepada nilai-nilai Islam. Dan keempat, kajian
perbandingan antara konsep sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis
dan sosialis serta perkembangan ekonomi kontemporer (gejala perkembangan sistem
ekonomi dunia).
Daftar Pustaka
Azzahra. Konsep Ekonomi Islam. http://www.lintasberita.com. 11 Oktober 2010
Azzahra, Mei. Mazhab Ekonomi Islam. http://www.mei-azzahra.com. 11 Oktober 2010
Hikmah, Arief. Ekonomi Islam. http://www.ariefhikmah.com. 11 Oktober 2010
. Islam dan Ekonomi. http://www.tripod.com. 11 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment