Friday, April 19, 2013

Hukum Asuransi Syari'ah



2.1  Dalil-Dalil Naqli Mengenai Hukum Asuransi Syari’ah

2.1.1    Q.S. Huud : 6
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”

2.1.2    Q. S. An-Naml: 64
“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".


2.2  Undang-Undang Mengenai Hukum Asuransi Syari’ah
2.2.1    Undang-Undang No.2 Tahun 1992
Perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
2.2.2    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Bab 9 Pasal 246
Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.[2]







2.3  Pendapat Para Ahli Mengenai Hukum Asuransi Syari’ah
2.3.1   R. Subekti
Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.[3]
2.3.2    Sayyid Sabiq
Asuransi tidak termasuk mudharabah yang sahih melainkan mudharabah yang fasiq yang tentu hukumnya secara syarak bertentangan dengan hukum akad asuransi, ditinjau dari segi undang-undang. Hal ini terjadi karena tidak mungkin dapat dikatakan bahwa perusahaan (syirkah) menyumbang orang yang mengasuransikan dengan pembayarannya. Akad asuransi ditinjau dari segi aturan mainnya adalah akad perolehan berdasarkan perkiraan.[4]

2.3.3    Syaikh Mustafa Al-Zarka
Perjanjian asuransi adalah hal baru dan bermanfaat. Ia lahir dari penemuan-penemuan teknologi baru dan hubungan ekonomi baru yang menyebabkan banyak orang membutuhkan perlindungan serupa. Kalau perjanjiannya tidak mengandung hal-hal yang di larang syariah maka hukumnya boleh. Beberapa hal yang di larang antara lain: Klausul bunga, unsur gharar atau yang diperjanjikan adalah sesuatu yang terlarang (misalnya pengangkutan minuman beralkohol dan sebagainya). Berdasarkan uraian tersebut maka diperbolehkan mengasuransikan rumah, mobil, dan harta kekayaan lainnya, tentunya kepada asuransi syariah.[5]
2.3.4   Emmy Pangaribuan Simanjuntak
Penggantian kerugian yang diberikan oleh pihak penanggung sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu ganti rugi oleh karena orang yang meneriman ganti rugi yang sungguh-sungguh sesuai dengan kerugian yang dideritanya. Ganti rugi yang diterimanya itu sebenarnya itu adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu yang telah disepakati oleh pihak-pihak.[6]
2.3.5   Mehr dan Cammack
Di negara-negara maju asuransi mendapat tempat utama bahkan kemajuan dinegara itu didorong dan seiring dengan kemajuan asuransinya. Asuransi merupakan jaminan dan payung kemajuan dan kehidupan.[7]




BAB III
PEMBAHASAN
3.1  Definisi Asuransi Syari’ah
Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’min yang berasal dari kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang. Sedangkan pihak yang menjadi penanggung asuransi disebut mu’amin dan pihak yang menjadi tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min.
Konsep asuransi Islam berasaskan konsep Takaful yang merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta. Takaful berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata ”kafala yakfulu” yang artinya tolong menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Takaful yang berarti saling menanggung/memikul resiko antar umat manusia merupakan dasar pijakan kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Saling pikul resiko inidilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah (ta’min, takaful’ atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk set dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah ta’awun, yaitu prinsip hidup yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal tak tentu yang merugikan.

3.2  Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a)    Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman, Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
b)   Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
c)    Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
d)   Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
e)    Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
f)    Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.[8]

3.3  Ciri-Ciri Asuransi Syari’ah
Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah :
a)    Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
b)   Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
c)    Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
d)   Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
e)    Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

3.4  Manfaat Asuransi Syari’ah
Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
a)    Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
b)   Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
c)    Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
d)   Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
e)    Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
f)    Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
g)   Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
h)   Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).[9]

3.5  Dasar Hukum Asuransi Syari’ah
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.
Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan kareni regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis Syariah.

3.6  Persamaan Antara Asuransi Syari’ah dengan Asuransi Konvensional
Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya adalah :
a)    Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
b)   Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
c)    Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
d)   Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.[10]

3.7  Perbedaan Antara Asuransi Syari’ah dengan Asuransi Konvensional
Asuransi syariah (tabarru’) itu diperbolehkan, sedangkan asuransi konvensional adalah jenis baru perjanjian finansial yang tidak dikenal dalam sejarah fiqh. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendeknya, yang membedakan asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional adalah bahwa asuransi syari’ah operasionalnya didasarkan atas asas tolong-menolong dan preminya bukan merupakan ongkos perlindungan terhadap risiko melainkan biaya keanggotaan (dana tabarru’) para peserta yang sudah diniatkan untuk keperluan tolong-menolong jika ada salah satu peserta asuransi yang tertimpa musibah. Sedangkan asuransi konvensional didasarkan pada pertukaran antara dua pihak dan premi adalah harga perlindungan terhadap risiko.[11]
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal, yaitu :
a)    Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
b)   Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
c)    Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
d)   Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
e)    Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
f)    Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.

3.8  Hukum Asuransi Jiwa
Ada tiga pendapat tentang asuransi jiwa menurut ulama masa kini. Pendapat pertama menyatakan bahwa asuransi jiwa adalah konsep baru yang di kenal dalam sejarah fiqh. Para ulama menganggap bahwa asuransi hukumnya haram, dengan argumen bahwa ia termasuk riba, perjudian, gharar, dan spekulasi terhadap kehendak Allah.
Pendapat kedua mengatakan bahwa asuransi mengandung gharar  karena tidak ada yang tau apakah kewajiban penjamin (perusahaan asuransi) akan terwujud atau tidak dan kapan kalau memang bakal terwujud. Ini adalah gharar kelas berat yang menyebabkan cacat serius dalam perjanjian. Karena itulah asuransi jenis ini di larang.
Pendapat ketiga disampaikan oleh Syaikh Mustafa Al-Zarqa. Beliau berpendapat bahwa gharar dalam perjanjjian ini di hapuskan oleh fakta bahwa ini adalah perjanjian yang didasarkan pada pengetahuan statistik yang jelas dan penerapan teori probabilitas. Dengan pertimbangan ini, tidak ada gharar bagi penjamin dan perjanjian itu di perbolehkan dengan dua syarat, yakni tidak mengandung klausul riba dan yang diasuransikan harus halal
Argumen lama (sejak tahun 1950-an), yang dianut bahkan oleh mereka yang menentang asuransi, bahwa ketika asuransi diwajibkan oleh hukum, orang harus menerimanya dan dia dimaafkan, dari sudut pandang syariah. Bisa kita tambahkan disini bahwa asuransi yang disediakan atas itu dibayar penuh oleh atasan, misalnya diberikan sebagai tunjangan tanpa beban premi yang di potong dari gaji. Ini bisa disebut hibah dari atasan dan jika terjadi kecelakaan polis yang di bayar itu halal hukumnya karena merupakan hasil dari hibah.[12]

3.9  Hukum Mengasuransikan Harta
Syeikh Mustafa Al-Zarqa berpendapat bahwa apabila perjanjian itu tidak mengandung hal-hal yang di larang syariah maka hukumnya boleh. Beberapa hal yang di larang antara lain: Klausul bunga, unsur gharar atau yang diperjanjikan adalah sesuatu yang terlarang (misalnya pengangkutan minuman beralkohol dan sebagainya). Berdasarkan uraian tersebut maka diperbolehkan mengasuransikan rumah, mobil, dan harta kekayaan lainnya, tentunya kepada asuransi syariah.[13]
Asuransi rumah, misalnya, disepakati merupakan transaksi judi. Para ulama mengambil keterangan dari Kitab al-Nahdlatul Islamiyah, bahwa asuransi menyerupai pemberian kupon dimana seseorang yang membelinya selama hidupnya menunggu tanpa memperoleh kemenangan.
Nasabah dijanjikan memperolah jaminan rumah jika terbakar. Jaminan ini memang disukai barangkali karena bila pemiliknya meningal atau terjadi kebakaran pada rumahnya maka ia memperoleh uang sebesar jaminan yang telah ditetapkan. Sementara selama menempati rumah tersebut ia harus membayar premi yang ditetapkan pihak perusahaan asuransi. Dikatakan, itu jelas merupakan judi murni karena dua pihak yang telah melakukan transaksi pada dasarnya masing-masing tidak mengetahui siapakah diantara mereka yang memeperoleh keuntungan, sampai uang yang disepakati oleh keduanya diberikan.

3.10     Hukum Mengasuransikan Masjid
Terdapat dispensasi dalam Islam yang mengizinkan beberapa hal terlarang karena desakan kebutuhan. Oleh sebab itu, jika benar bahwa masjid yang ditanyakan sungguh-sungguh berada dalam resiko tertimpa musibah dan mengasuransikan akan menghindarkan musibah, serta tidak ada sistem asuransi syariah (takabul) yang halal di negeri tempat masjid itu berada, yang ada hanya asuransi ribawi, maka dispensasi bisa diberikan kepada penggung jawab masjid untuk mengasuransikannya menurut sistem ribawi itu hingga ada suatu alternatif islami. Kalau alternatif yang dimaksud sudah ada, masjid itu harus mengakhiri perjanjiannya dengan perusahaan asuransi komersial dan mengikatkan diri dengan perusahaan baru yang menggunakan sistem asuransi syariah.[14]


BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Konsep asuransi Islam berasaskan konsep Takaful yang merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta. Takaful yang berarti saling menanggung/memikul resiko antar umat manusia merupakan dasar pijakan kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Saling pikul resiko inidilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut. Asuransi Syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah ta’awun, yaitu prinsip hidup yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal tak tentu yang merugikan.
Asuransi syari’ah operasionalnya didasarkan atas asas tolong-menolong dan preminya bukan merupakan ongkos perlindungan terhadap risiko melainkan biaya keanggotaan (dana tabarru’) para peserta yang sudah diniatkan untuk keperluan tolong-menolong jika ada salah satu peserta asuransi yang tertimpa musibah. Sedangkan asuransi konvensional didasarkan pada pertukaran antara dua pihak dan premi adalah harga perlindungan terhadap risiko. Asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, Herman. 2000. Manajemen Asuransi. Jakarta : Bumi Aksara
Kadir, A. 2010. Hukum Bisnis Syari’ah dalam Al-Qur’an. Jakarta : Amzah
Kahf, Monzer. 2010. Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syari’ah. Solo : PT Aqwam Media Profetika
Muslehuddin, Muhammad. 1999. Menggugat Asuransi Modern. Jakarta : Lentera
Suparman Sastrawidjaja, Man. 1997. Hukum Asuransi. Bandung : PT Alumni
Triyuwono, Iwan. 2006. Akuntansi Syari’ah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Yafie, Ali. 1994. Asuransi dalam Pandangan Syari’at Islam. Bandung : Mizan




[1] Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, (Bandung : PT Alumni, 1997), hal. 118
[2] Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, (Bandung : PT Alumni, 1997), hal. 16
[3] Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, (Bandung : PT Alumni, 1997), hal. 47
[4] Fiqh Sunnah Jilid 13
[5] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 66-67
[6] Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, (Bandung : PT Alumni, 1997), hal. 43
[7] Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, (Bandung : PT Alumni, 1997), hal. 68
[8] Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, (Bandung : PT Alumni, 1997), hal. 55-64
[9] Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, (Bandung : PT Alumni, 1997), hal. 65
[10] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 68-69
[11] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 68-69
[12] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 64-66
[13] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 66-67
[14] Monzer Kahf, Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syari’ah, (Solo : PT Aqwam Media Profetika, 2010), hal. 68

No comments:

Post a Comment