Friday, April 26, 2013

aplikasi istishna dalam lembaga keuangan syariah


2.1   
2.1.1   Definisi Istishna
Lafal istishna’ berasal dari akar kata shana’a صنع) diatambah alif, sin, dan ta’ menjadi istisna’a استصنع) yang sinonimnya ,  طلب أن يصنعه له  artinya : “meminta untuk dibuatkan sesuatu”. Adapun secara istilah ba’i al-istishna adalah permintaan atau pesanan dari pihak pemesan tentang sesuatu yang khusus dan dikerjakan dengan cara yang khusus. [1] Dalam definisi lain dijelaskan istishna adalah menjual barang yang dibuat (seseorang) sesuai dengan pesanan.[2] Pengertian istishna’ menurut istilah tidak jauh berbeda dengan menurut bahasa. Wahbah zuhaili mengemukakan pengertian menurut istilah ini sebagai berikut :
تعريف الإستصناع هوعقد مع صا نع علي عمل شيء معين في الذمة, أي العقد على شراء ما سيصنعه الصا نع و تكون العين ولعمل من الصنع.
“ defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ; yakni akad untuk membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.”
Ali Fikri memberikan defenisi istishna’ sebagai berikut :
الإ ستصنا ع هو طلب عمل شيء خاص على وجه مخصوص ما دته من طرف الصنع.
” istishna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya ( bahannya ) dari pihak penbuat ( tukang ).”
Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa akad istishna’ adalah akad antara dua pihak dimana pihak pertama ( orang yang memesan/ konsumen ) meminta kepada pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ) untuk dibuatkan suatu barang, seperti sepatu, yang bahannya dari pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ). Pihak pertama disebut mustashni’ , sedangkan pihak kedua, yaitu penjual disebut shani’ , dan sesuatu yang menjadi objek akad disebut mushnu’ atau barang yang dipesan ( dibuat ). Apabila bahan yang dibuat berasal dari mustashni’ bukan dari shani’ maka akadnya bukan istishna’ melainkan ijarah. Namun demikian sebagian fuqaha mengatakan bahwa objek akad  ishtisna’  itu hanyalah pekerjaan semata, karena pengertian istishna’ itu adalah permintaan untuk membuatkan sesuatu, dan itu adalah pekerjaan.
Istishna’ adalah akad yang menyerupai akad salam , karena bentuknya menjual barang yang belum ada (ma’dum) dan sesuatau yang akan dibuat itu pada akad ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual. Hanya saja ada beberapa perbedaan dengan salam karena :
a)    Dalam ishtisna’ harga atau alat pembayarana tidak harus dibayar dimuka seperti pada akad salam.
b)   Tidak ada ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan.
c)    Barang yang dibuat tidak harus ada dipasar.
Dari sisi lain ishtisna’ ini hampir sama dengan ijarah (sewa –menyewa), namun berbeda dengan ijarah , karena dalam istisna’ si pembuat atau produsen  menggunakan barang atau bahan yang dibuat dari hartanya sendiri bukan dari harta mustasyi’ atau pemesan.[3]
2.1.2   Hakekat Akad Istishna
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). Sebagian lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.[4]
2.1.3   Berakhirnya Akad Istishna
Kontrak istishna biasa berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
a)    Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah piahk,
b)   Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak
c)    Pembatalan hukum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.[5]
2.1.4   Perbedaan antara Salam dan Istishna
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bai’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu :
a)    Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
b)   salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah. [6]


SUBJEK
SALAM
ISTISHNA
ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Kontrak
Muslam Fiihi
Mashnu’
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
Harga
Di bayar saat kontrak
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
Sifat Kontrak
Mengikat secara asli (thabi’i)
Mengikat secara ikutan (taba’i)
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Kontrak Pararel
Salam Paralel
Istishna’ Pararel
Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah.



2.2  Dasar Hukum Istishna’
2.2.1   Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (Qs. Al-Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
2.2.2   As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.
2.2.3   Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
2.2.4   Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
2.2.5   Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna
1)   Pelaku, harus cakap hukum dan baligh.
2)   Objek akad:
a)    Ketentuan tentang pembayaran
o  Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau mamfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
o  Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung  jawab pembeli.
o  Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
o  Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
b)   Ketentuan tentang barang
o  Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, motu) sehingga tidak ada lagi jahalah dan perselisian dapat dihindari.
o  Barang pesanan diserahkan kemudian.
o  Waktu dan penyerahan pesanan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
o  Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.
o  Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan kesepakatan.
o  Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau mebatalkan akad.
o  Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan.
3)   Ijab kabul
Adanya pernyataan dan espresi saling ridha/rela diantara pihak-pihak akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komonikasi mudern.

Fatwa No. 22/DSN-MUI/III/2002. Tentang Jual Beli Istishna’ Pararel
1)   Jika LKS melakukan transaksi istishna’, untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi dengan pihak lain pada objek yang sama, dengan syarat istishna’ pertama tidak tergantung (Mu’allag) pada istishna’ kedua.
2)   LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC (Margin During Construction) dari nasabah (Shani’) karena hai ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.
3)   Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan  diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah Tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
4)   Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata dapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai mestinya.[7]
2.2.6   Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. [8]



2.3  Rukun dan Syarat Jual Beli Istishna
Rukun istishna’ menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi menurut jumhur ulama, rukun istishna’ ada empat, yaitu sebagai berikut :
a)    ‘Aqid yaitu shani’ ( orang yang membuat/ produsen ) atau penjual
b)   mustashni’ ( orang yang memesan/ konsumen ), atau pembeli.
c)    ma’qud ‘alaih , yaitu ‘amal ( pekerjaan ), barang yang dipesan, dan harga atau alat pembayaran
d)   shighat atau ijab dan qabul.
Adapun syarat- syarat istishna’ adalah sebagai berikut :
a)    Menjelaskan tentang jenis barang yang dibuat, macam, kadar, dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang yang dijual ( objek akad ).
b)   Barang tersebut harus berupa barang yang berlaku muamalat diantara manusia, seperti bejana, sepatu, dan lain-lain.
c)    Tidak ada ketentuan mengenai tempo penyerahan barang yang dipesan. Apabila waktunya ditentukan, menurut Imam Abu Hanifah, akan berubah menjadi salam dan berlakulah syarat-syarat salam, seperti penyerahan alat pembayaran ( harga ) dimajelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad, syarat ini tidak diperlakukan. Dengan demikian menurut mereka, istishna’ itu hukumnya sah, baik waktunya ditentukan atau tidak, karena menurut adat kebiasaan, penentuan waktu ini bisa digunakan dalam akad istishna’ .[9]

2.4  Aplikasi Jual Beli Istishna dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Skema mekanisme transaksi jual beli istishna’

Dalam perbankan syariah prinsip pokok minimal dalam pembiayaan istisna’ ada beberapa hal yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a)    Istishna’ adalah sistem jual beli yang dikecualikan, pada harga yang disetujui, ketika pembeli menempatkan order untuk diproduksi, dirakit, atau dibangun, atau melakukan sesuatu yang harus diserahkan pada masa yang akan adatang.
b)   Komoditas harus diketahui secara spesifik sampai tidak ada keraguan mengenai spesifikasinya. Termasuk jenis, kualitas, dan kuantitas.
c)    Harga barang yang akan diproduksi harus sudah dipatok dalam angka absolut dan tidak kabur. Harga yang disepakati dapat dibayar secara tangguh ataupun dicicil sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
d)   Penyediaan kebutuhan material yang dibutuhkan unutk memproduksi komoditas menjadi tanggung jawab pembeli.
e)    Kecuali disepakati bersama, masing- masing pihak dapat membatalkan kontrak sepihak jika penjual belum menanggung ongkos apapun, langsung maupuun tidak langsung.
f)    Jika barang yang diproduksikan sesuai dengan baranag yang disepakati, pembeli tidak dapat menolak unutk menerima barang tersebut, kecuali jika jelas- jelas ada cacat pada barang tersebut. Namun, perjanjian dapat mengatur bahwa jika penyerahan tidak dilakukan dalam jangka waktu yang disepakati, maka pembeli dapat menolak unutk menerima barang.
g)   Bank ( pembeli istishna’ ) dapat melakukan kontrak istishna’ paralel tanpa adanya  syarat atau kaitan dengan kontrak istishna’ pertama. Dalam istishna’ pertama bank menjadi pembeli, dan pada istishna’ kedua bank menjadi penjual. Tiap kontrak tersebut harus indipenden dari yang lain
h)   Dalam transaksi istishna’, sebelum mendapat penguasaan dari barang tersebut pembeli tidak boleh menjual atau mengalihkan kepemilikan barang kepada orang lain.
i)     Jika penjual gagal untuk menyerahkan barang dalam periode yang telah ditentukan, harga komoditas dapat diturunkan sejumlah tertentu per hari sesuai dengan perjanjian.
j)     Perjanjian istishna’ dapat menyertakan denda yang dihitung dalam persen dalam perhari/ tahun sesuai kesepakatan yang hanya oleh digunakan utuk dan sosial. Bank juga dapat mengadu kepada pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi (solatium ), atas kebijaksaan pengadilan yang harus ditetapkan berdasarkan biaya langsung dan biaya tidak langsung yang timbul, selain biaya kesempatan (opportunity costs ), juga jaminan dapat dijual oleh bank tanpa intervensi dari pengadilan.
k)   Jika terjadi kegagalan oleh klien ( sana’i ), bank juga daoat megadu kepada pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi kerusakan, atas kebijaksanaan pengadilan, yang harus ditetpkan berdasarkan biaya langsung dan biaya tak langsung, selain biaya kesempatan ( opportunity costs ).
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir serta akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.
Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.
a)  Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
b)  Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.
c)  Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.[10]
Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna dan istishna parallel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara periodic. Berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan Bank Indonesia, pengawasan tersebut dilakukan untuk:
a)    Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam;
b)   Meneliti apakah bank membiayai pembuatan barang yang diperlukan nasabah sesuai pesanan dan criteria yang disepakati;
c)    Memastikan akad istishna dan akad istishna parallel dibuat dalam akad yang tepisah;
d)   Memastikan bahwa akad istishna’ yang sudah dikerjakan sesuai kesepakatan hukumnya mengikat, artinya tidak dapat dibatalkan.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank Syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi jual beli istishna’ paralel dengan para nasabah. Di samping itu bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.[11]
2.5  Contoh Simulasi Perhitungan dalam Transaksi Jual Beli Istishna
1)   Seorang nasabah akan merenovasi rumah dengan melalui jasa kontraktor PT. Perkasa Sejahtera. Untuk keperluan tersebut nasabah mengajukan fasilitas Pembiayaan Istishna kepada Bank BTN Syariah, dengan total biaya Rp.10.000.000,-. Setelah dilakukan survey dan analisa, maka disetujui fasilitas Istishna' oleh Bank BTN Syariah kepada Nasabah, dimana Bank BTN Syariah melakukan Akad Istishna' I antara Bank BTN Syariah dan Kontraktor PT. Perkasa Sejahtera melalui proyek.
Setelah kontraktor membuat penyataan surat sanggup mengerjakan proyek, maka Bank BTN Syariah menawarkan fasilitas Ishtishna' kepada Nasabah dengan ketentuan sebagai berikut :
Akad Istishna' II antara Bank BTN Syari’ah dan Nasabah, melalui proyek sebagai berikut :[12]
a)    Nama Proyek                             : Renovasi Rumah
b)   Lokasi dan Spesifikasi Proyek  : Terlampir
c)    Lama Waktu Pengerjaan           : 3 bulan
d)   Total Biaya                                : Rp. 10.000.000,-
Persyaratan Fasilitas Istishna' adalah sebagai berikut :
a)    Harga Beli Proyek Renovasi rumah      : Rp. 10.000.000,-
b)   Harga Jual pada Nasabah (Harga Jual = Harga Beli + Margin)           
: Rp. 16.000.000,-
c)    Jangka Waktu Pengerjaan Proyek         : 3 bulan sejak akad pembuatan proyek antara Bank BTN Syari’ah dan Kontraktor
d)   Jangka Waktu Angsuran Harga Jual     : 2 tahun setelah proyek selesai
e)    Besarnya Angsuran/bulan (16 juta / 24): Rp. 666.700,-
f)    Biaya Administrasi                                : Rp. 100.000,-

2)   CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan sepatu memperoleh order untuk membuat sepatu anak sekolah SMU senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Plaju. Harga perpasang sepatu yang di ajukan adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di angsur selama tiga bulan. Harga perpasang sepatu di pasaran sekitar Rp.90.000,-. Dalam hal ini Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok produksi. CV.Selayang Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang atau keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,- yang diperoleh dari hitungan Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000 = Rp. 3.529.412.
Bank Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Selayang Pandang dengan harga yang lebuh murah, sehingga dapat di jual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga Rp. 86.000,-per pasang, sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang dengan keuntungan keseluruhan adalah:[13]
Rp. 60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
istishna’ adalah akad antara dua pihak dimana pihak pertama ( orang yang memesan/ konsumen ) meminta kepada pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ) untuk dibuatkan suatu barang, seperti sepatu, yang bahannya dari pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ). Pihak pertama disebut mustashni’ , sedangkan pihak kedua, yaitu penjual disebut shani’ , dan sesuatu yang menjadi objek akad disebut mushnu’ atau barang yang dipesan ( dibuat ).
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir serta akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.


DAFTAR PUSTAKA
Jaenudin. 2011. Ikhtisar Fiqh Muamalah I. Bandung : UIN SGD Bandung
Mubarok, Jaih. 2004. Perkembangan Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Sabiq, Al-Sayyid. 1983. Fiqh Al-Sunnah. Beirut : Dar Al-Fikr.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
Anwar, Syaiful. Fiqh Muamalah “Bai Istishna”. http://gudangilmu2kita. blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna.html. Diakses tanggal 10 Maret 2013
Hendrakholid. Istishna’. http://hendrakholid.net/blog/2011/11/. Diakses tanggal 10 Maret 2013.
Muhari, Syafaat. Bai’ Istishna’. http://syafaatmuhari.wordpress.com /2011/07/03/ bai%E2%80%99-istishna%E2%80%99/. Diakses tanggal 10 Maret 2013.
Nasyiffa, Nadira. Akad Istishna. http://nadiranasyiffa.blogspot.com/2011/12/ akad-istishna.html  Diakses tanggal 10 Maret 2013
Syakur, Husna. Akuntansi Syari’ah (Akad Istishna). http://husna-syakur.blogspot. com/2012/05/akuntansi-syariah-akad-istishna.html. Diakses tanggal 10 Maret 2013.


[1] Jaih Mubarok, Perkembangan Fatwa : Hal. 7
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah : Hal. 151
[3] Anwar, Syaiful. : http://gudangilmu2kita. blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna. html.
[4] Nasyiffa, Nadira :  http://nadiranasyiffa.blogspot.com/2011/12/ akad-istishna.html 
[5] Nasyiffa, Nadira :  http://nadiranasyiffa.blogspot.com/2011/12/ akad-istishna.html 
[6] Anwar, Syaiful. : http://gudangilmu2kita. blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna. html.
[7] Syakur, Husna. : http://husna-syakur.blogspot. com/2012/05/akuntansi-syariah-akad-istishna. html.
[8] Nasyiffa, Nadira :  http://nadiranasyiffa.blogspot.com/2011/12/ akad-istishna.html 
[9] Anwar, Syaiful. : http://gudangilmu2kita. blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna. html.
[10] Anwar, Syaiful. : http://gudangilmu2kita. blogspot.com/2012/12/fiqh-muamalah-bai-istishna. html.
[11] Nasyiffa, Nadira :  http://nadiranasyiffa.blogspot.com/2011/12/ akad-istishna.html 
[12] Bmd syariah
[13] Muhari, Syafaat. http://syafaatmuhari.wordpress.com /2011/07/03/ bai%E2%80%99-istishna %E2%80%99/.

judul : aplikasi istishna dalam lembaga keuangan syariah
judul : aplikasi istishna dalam lembaga keuangan syariah
judul : aplikasi istishna dalam lembaga keuangan syariah